Ayub 32:1-22

“aku masih muda dan kamu sudah berumur tinggi: oleh sebab itu aku malu dan takut mengemukakan pendapatku kepadamu” (ayat 60)

Pernahkah anda dicecar cerca oleh adik tingkatmu, juniormu? Engkau dipersalahkan dengan emosi yang membabi buta? Pernahkah anda menjadi bawahan dari juniormu, kemudian anda yang senior diperlakukan tidak adil?

Atau apakah anda sebagai junior dapat tetap menghormati seniormu (yang lebih tua), tetap santun, tetap hormat, walau kadang para senior tampak lebih otoritatif, bahkan ada juga kekeliruan pikir dan tindak mereka? apakah anda tetap dapat berbicara lembut ketika protes terhadap pikiran dan tindakan mereka?

Seorang muda dari antara keempat rekan Ayub, yaitu Elihu, berbicara dengan lantang disertai emosinal yang kuat, marah-marah. Elifas, Bildad, Gofar dan Ayub diserangnya dengan kemarahan.

Elihu yang masih muda belia diantaranya dianggap “anak ingusan” yang belum memiliki banyak hikmat. Hanya orang yang banyak umur yang dianggap memiliki segudang bijaksana. Elihu datang memprotes paradigma tersebut, dengan nada kesal.

Status kemudaannya (ay 6) membuat dia malu dan takut mengemukakan pendapatnya di hadapan senior2nya. Namun ia tetap membantah tuduhan Elifas, Bildad dan Gofar yang salah menilai. Namun ia juga berani mempersalahkan Ayub. Elihu marah atas semua sanggahan para seniornya. Padahal Elihu juga pada posisi pandangan yang salah.

Elihu berpendapat bahwa orang muda layak diberi kesempatan berbicara, sebab yang tua (senior) belum tentu memiliki perbendaharaan hikmat. Anak muda harus diberikan ruang menyampaikan pendapatnya. Ketika pendapat orang muda dikekang mereka akan sulit menghormati para senior.

Memang orang muda selalu menantikan, memperhatikan, menemukan kata-kata bijak dari tetua-tetua. Namun orang muda juga mendengar Tuhan sebagai sumber hikmat. Elifas dengan santun menyatakan bahwa pengertian, bijaksana, hikmat datangnya dari Roh dan Nafas Yang Mahakuasa. Elihu merasa dirinya yang mendengar Roh pantas berbicara di kalangan orang tua (senior). Namun sayang ia tak dapat mengontrol emosinya di hadapan orang tua yang harus dihormatinya.

Menurut penulis kitab Ayub, bahwa orang muda ketika menyampaikan pendapatnya kepada orang tua yang disertai dengan emosi marah sebagai suatu ketidaklayakan dalam menghormati para sepuh. Orang muda yang cerdas, kreatif, inovatif, bersemangat perlu memperhatikan etiket sopan santun berbicara di hadapan tua-tua yang tua. Orang tua bisa salah, namun tak perlu menuding dengan meluapkan kemarahan.

Elihu memandang Ayub sebagai sepuh yang menderita dimana pembelaannya tak dapat dibantah pengadilan Elifas dkk. Elihu menjadi santun kepada Ayub dengan mengatakan bahwa hanya Tuhan tandingan hikmat Ayub.

Mengapa Elihu menjadi lunak, dari marah menjadi lembut? Sebab Ayub sebagai orang tua yang tua membuka telingannya mendengarkan keluhan kemarahan Elihu. Ayub menyadari Elihu, sang muda, yang bersemangat, banyak ide, jiwa yang meletup2. Ketika syaraf telinga Ayub tetap sabar mendengar getar kemarahan Elihu, seketika ia lega, emosinya tersalur, ia menjadi netral dan menyanjung orang tuanya. Kemarahannya berhenti sehingga pencipta tak mencabut nyawanya.

Ya, anak muda harus didengarkan isi hatinya, agar ia lega dan mendapat jalan baru (pikiran baru), memperoleh ide yang cemerlang.

Seorang muda mudah menghormati senior tatkala isi hatinya senantiasa dapat didengarkan oleh syaraf telinga para senior.

Terkadang para senior “ngeyel” tak mau mendengar ide2 orang muda, sehingga sering terjadi “konflik” kehormatan (harga diri). Namun anak muda sulit memghormati orang tua yang dianggap ketinggalan zaman. Junior dan Senior mesti ada kelonggran dan keluasan batin untuk dapat saling memahami jiwa manusia.

Salam junior wajib menghormati senior.

Tonny Mulia Hutabarat
6 September 2021