1 Petrus 1:3-12.

Hidup sebagai orang Kristen, menuntut kita memberikan sesuatu yang terbaik dan sempurna di dalam kehidupan kita. Hal ini dikarenakan kita mempunyai dua kewarganegaraan, pertama, secara de yure (memiliki konsekuensi hukum) kita adalah WNI yang tinggal di dalam dunia, dengan segala hal dan kewajiban yang bisa kita lakukan dan pertanggungjawabkan. Kedua, secara de facto (dalam realitas iman kita kepada Yesus Kristus) kita adalah WN kerajaan sorga, karena kita buatan Allah yang diciptakan untuk pekerjaan baik.

Sering kali dalam status dua kewarganegaraan itu, ditambah dengan ekspektasi serta kondisi, terutama kondisi pandemi yang belakangan ini kita hadapi, yang seolah tidak memberikan pilihan, membuat kita jatuh dalam pilihan tindakan “mengikuti arus.” Akan tetapi, dalam keadaan itu pula, kita didesak juga oleh sebuah pencarian akan sebuah nilai dan makna, pencarian komunitas tempat berbagi serta pencarian pribadi yang Ilahi untuk kita sembah. Diperhadapkan pada situasi demikian membuat kita seolah pasrah menerima (mengafirmasi) semua yang ditawarkan, oleh pesona dan nikmat dalam dunia. Kita memiliki kerentanan menggantikan Allah dengan tawaran itu.

Konteks surat umum yang dituliskan oleh Petrus kepada jemaat Kristen non-Yahudi yang tersebar dalam berbagai wilayah (diaspora), diperhadapkan juga dalam kondisi yang hampir mirip dengan kita belakangan ini. Uniknya, mereka mengalami intimidasi penganiayaan baik dalam imannya (ibadah dan ritual keagamaan yang dilakukan), juga keberlangsungan hidupnya sebagai akibat iman mereka. Oleh karena, itu Petrus menuliskan surat untuk memberikan penguatan dan peneguhan dalam iman mereka.

Fokus penguatan Petrus pada tiga hal, pertama, pada ayat 3-5, bahwa orang Kristen telah menerima anugerah keselamatan dan telah dilahirkan baru. Kedua, pada ayat 6-9, bahwa iman itu akan mengalami pengujian dan pemurnian adalah sebuah sukacita dan anugerah. Pada bagian ini Petrus menganjurkan jemaat Kristen non-Yahudi itu harus memiliki sukacita yang melimpah, karena semua pengujian itu akan membawa kepada pemuliaan Allah. Terakhir, pada ayat 10-12, bahwa iman dalam Yesus Kristus yang membawa keselamatan itu, adalah penyingkapan diri Allah yang bersifat sepanjang segala masa (masa PL, sekarang, serta kehidupan setelah kematian). Hal inilah yang memberikan dasar pengharapan dan sukacita dalam iman kekristenan. Inilah yang diinginkan oleh Petrus.

Kalau kehidupan orang Kristen pada masa itu mengalami apa yang namanya “penganiayaan.” Kita mungkin lebih beruntung dari mereka, kita memiliki “kemewahan” kesempatan beriman kepada Yesus Kristus. Meskipun di beberapa wilayah di Indonesia ada beberapa kasus pelarangan beribadah. Akan tetapi, kita yang telah menerima anugerah keselamatan dan kemewahan itu, tetap punya ruang dan dijamin oleh pemerintah untuk beribadah. Lalu, bagaimana hal itu kita responi, apakah situasi dan keadaan justru membuat kita murung, dan beralih dari kepercayaan kita kepada Tuhan atau justru memberikan kita semangat dan kekuatan baru?

Kita telah mendapat jaminan dalam iman kita, bahwa Allah akan hadir menopang bukan untuk memberikan kita kelimpahan akan materi atau mampu menyelesaikan seluruh masalah kita dalam permintaan kita semata, atau justru melalui peristiwa yang kita hadapi, justru melalui cara-Nya yang ajaib menyeleraskan dalam rancangan dan kehendak-Nya. Mari kita tetap bersukcita dalam iman kita dan terus mengarahkan pandangan kepada Tuhan dan Juruslamat, Yesus Kristus. Tuhan menolong dan beserta kita senantiasa.

Asidoro Sabar Parsaulian Pasaribu
4 September 2021