Eksposisi Yakobus 1:9-11

Di dalam kehidupan, secara sadar atau tidak sadar, banyak orang berjuang di dalam kehidupannya mengejar nilai yang dilekatkan kepada dirinya. Orang berkata apa tentang diri kita, orang melihat apa yang kita miliki, dan bahkan dalam tren di media sosial kita mengejar “like” dan menghindari “dislike” pada postingan sosial yang kita buat. Hal ini membentuk kita menjadi sebuah pribadi yang berorientasi pada “apa kata orang,” dan menghilangkan identitas serta jati diri kita sesungguhnya.

Yakobus, sebagai saudara Yesus, banyak belajar dari pengajaran Yesus yang hidup dekat dengannya. Yakobus melihat Yesus, dapat menempatkan diri dalam kesejatian dua natur-Nya, yakni sebagai Allah dan sebagai Allah yang menjelma menjadi manusia. Yesus tidak pernah memanfaatkan dan menggunakan kuasa-Nya untuk mencari keuntungan, supaya orang melihat Yesus dan memuji Yesus dengan kata “WOW,” tidak sama sekali, Yesus menjauhkan diri-Nya dari hal itu. Ia tidak mau dirinya dikenali karena perbuatan-Nya. Ia mau dikenali karena teladan dan kesetiaan-Nya. Yesus justru mengajarkan keterbalikan dari konsep dunia, tentang nilai yang dilekatkan kepada manusia, bukan dicari tetapi justru sudah dimiliki dan harus dipelihara. Manusia adalah Ciptaan Allah yang paling mulia dari segala ciptaan, dan itulah identitas sesungguhnya di dalam kehidupan orang percaya, yakni sebagai anak-anak Allah.

Pada bagian perikop ini, Yakobus memberikan sebuah nasehat dan anjuran kepada kedua belas suku di perantauan, yang akan menghadapi ujian dan cobaan iman, supaya dapat mendisiplinkan dirinya dengan mampu menempatkan diri dan mengingat siapa dirinya, dalam imannya kepada Yesus Kristus. Oleh karena itu, Yakobus memberikan sebuah penggambaran kondisi “Kaya” vs “Rendah” (LAI memperhalus bagian ini dengan memberikan kata “RENDAH”, untuk mensejajarkan dengan suatu kedudukan/posisi dalam suatu jabatan fungsional maupun urutan kedudukan secara numerik). Hal ini dimaksudkan supaya orang-orang percaya (kedua belas suku tersebut), tidak berorientasi kepada pencapaian akan nilai yag dilekatkan, karena kekayaan itu akan hilang dan lenyap, dan selalu tenggelam dengan perbandingan kekayaan lainnya (kekayaan digambarkan seperti bunga rumput, yang akan layu oleh matahari terbit, seperti pepatah “di atas langit masih ada langit”). Penggambaran kekayaan ini bukan saja bicara soal materi yang dimiliki, melainkan sebuah penilaian yang dilekatkan kepada seseorang karena apa yang dilakukan, karena apa yang dimiliki, serta karena sebuah kedudukan dan kuasa dalam jabatan, yang diemban seseorang. Semua itu adalah penggambaran kesementaraan.

Sebagai perenungan untuk kita amati, hayati dan lakukan di dalam kehidupan kita, bahwa sesungguhnya kita sudah memiliki sebuah status yang bernilai mulia. Sebagai gambar dan rupa Allah, dan sebagai ciptaan yang paling mulia di anatara seluruh ciptaan yang Allah telah ciptakan. Artinya, kita tinggal perlu mengingat dan memelihara status ini, ketimbang harus bersusah payah, mengejar dan berorientasi kepada “nilai dan pengakuan” dari orang lain. Sebagai ciptaan, kita sudah dirancangkan untuk tujuan sang pencipta kita, untuk sebuah rancangan “Master Plan” yang telah didesain Allah dan diperuntukkan untuk sebuah keadaan damai sejahtera (Shalom). Akan tetapi, ketika orientasi dan tujuan kita sudah bergeser, sudah pasti itu akan merusak rancangan Allah, dan kita justru tidak memuliakan Dia melalui kehidupan kita, melainkan berusaha mendatangkan kemuliaan diri, supaya saya diakui sebagai orang baik, hebat, luar biasa, sebagai orang yang bersahaja, sebagai orang ter-kaya, ter-cantik, ter-ganteng, atau penilaian apalagi yang ingin kita kejar? Ini harus kita waspadai.

Kita harus puas dan merasa cukup sebagai pengikut Kristus, bukan kepada nilai yang dilekatkan pada status sosial kita. Karena, hanya melalui Kristus, kita akan sampai kepada Bapa, dan pada hari-Nya, kita akan bersama dipermuliakan dengan Allah, ketika kita telah selesai menggenapi rancangan Allah, dengan berbagian melakukan dan mengisi keselamatan kita, untuk sebuah tujuan pemuliaan-Nya semata. Christ is enough for me and you.

Sdr. Asidoro Sabar Parsaulian Pasaribu