I Samuel 4:1-21

Penulis Kitab Samuel mengungkapkan kedaulatan Tuhan dan perwujudan KemahakuasaanNya dan PenghakimanNya dengan menampilkan kehadiranNya yang nyata melalui gambaran atau simbol TABUT TUHAN (Ibrani ‘et-‘aron adonay). Kisah perjalanan Tabut (Tuhan) di Israel ini diceritakan mulai pasal 4-7.

Tabut adalah lambang kehadiran Tuhan. Tabut ini harus dibawa oleh orang Lewi. Mereka membawanya dengan cara memikul tongkat kayu akasia yang ada di bawah Tabut itu. Isi tabut adalah dua lempeng batu yang berisi Sepuluh Perintah. Kemudian, wadah emas berisi manna dan ”tongkat Harun yang berkuncup”. manna dan tongkat belakangan dikeluarkan karena dipindahkan ke bait suci. Bezalel dan orang-orang lainnya membuatnya sekitar tahun 1513 sM, dan dinyatakan hilang tahun 63M.

Dengan latar perkataan Samuel (bisa jadi nasehat, pengajaran, khotbah, instruksi, perintah) yang adalah perkataan Tuhan sudah sampai ke seluruh Israel. Saya perkirakan bahwa semangat nabi muda ini membakar hati orang Israel untuk kembali kepada Tuhan. Filistin menjadi ketakutan kepada Israel karena muncul sosok pemimpin yang dekat dengan Tuhan. Mereka ingin mempertahankan diri dengan cara menyerang terlebih dahulu.

Penulis secara mendadak menampilkan perubahan alur sastra menjadi cerita perang Israel dengan Filistin dimana orang Israel kalah dengan kematian 4000 pasukan. Dalam tradisi perang Israel, raja dan pasukan wajib harus terlebih dahulu bertanya kepada pelihat, imam dan nabi. Namun dalam teks yang pendek ini mereka maju tanpa berkonsultasi kepada Samuel dan mengakibatkan kekalahan fatal. Mereka tidak mengutamakan Tabut Tuhan. Mereka merasa akan disertai Tuhan tetapi kenyataannya Tuhan tidak berpihak kepada mereka. Bayangkan dalam sekejab tewas 4000 orang. Sangat berbahaya sekali bila melangkah tanpa konsultasi dengan Tuhan. Tabut Tuhan ada ditengah mereka tetapi diabaikan. Berujung fatal.

Bagaimana mungkin Israel kalah padahal ada tabut Tuhan (kehadiranNya) di antara Israel. Itulah pernyataan yang ada di kepala tua2 Israel (pemimpin). Tabut Tuhan ada di antara Israel tetapi mereka tidak membutuhkan pimpinan Tuhan. Ironis, kekalahan itu mendorong mereka untuk (bertanya) berdoa, mereka datang ke Silo dimana Samuel selalu mau mendengar suara Tuhan. Pelajaran penting bagi Kristen zaman now untuk selalu “bermeditasi dengan Tuhan” atau “bercakap2 dengan Tuhan” untuk meminta petunjuk, minimal beroda memohon penyertaanNya untuk kita menjalani hidup di dunia yang penuh dengan “peperangan” dengan roh2 duniawi.

Hanya satu orang yang mewakili ke Silo (ke rumah Samuel) dengan suatu pernyataan pertanyaan: “Tuhan membuat kita terpukul kalah” dan “dimana tangan pelepasanNya. Mereka memaksa Tuhan untuk memenangkan perang Filistin.

Tanpa ada suara dan persetujuan dari Samuel (dari Tuhan) orang banyak mengangkat TABUT PERJANJIAN. Barangkali mereka sangat meremehkan kepemimpinan Samuel yang masih sangat muda belia. Mereka merasa dengan membawa tabut, Tuhan akan berpihak kepada mereka. Padahal mereka telah berdosa. Tanpa konfirmasi Samuel (Tuhan) untuk maju berperang adalah dosa. Ada syarat yang tak boleh dilanggar bahwa TABUT hanya boleh dibawa oleh imam2 Lewi dan atas petunjuk pimpinan (Samuel). Dan tidak boleh menyentuhnya. Mereka buta terhadap firman dan kehendakNya. Orang banyak punya maksud baik agar lepas dari tekanan musuh tetapi cara prosedurnya salah dimata Tuhan. Dan melalui kekeliruan itu memang Tuhan mau menghukum Israel. Tidak mendengar suara Tuhan dan tidak patuh pada persetujuanNya adalah suatu kejahatan besar di mataNya. MurkaNya tidak boleh dianggap remeh: 4000+34.000=tewas. Siapakah anak2 Tuhan yang masa kini (2021) meremehkan firman Tuhan? Mereka akan mengalami “kematian” jiwa, “kematian” emosi”, “kematian” pikiran, “kematian” fungsinya sebagai anak Tuhan. Bisa jadi banyak orang kristen kelihatannya “hidup”, beraktivitas seperti biasa tetapi sudah “mati” dihadapan Tuhan karena menjatuhkan firmanNya (I Sam 3: 19).

Orang Israel berseru sampai bumi gemetar di dekat Tabut tanpa Penyertaan Tuhan. Suara gemuruh orang banyak membuat mereka tak dapat mendengar suara Tuhan. Mereka tuli terhadap suara sorgawi. Bencana besar terjadi karena menutup telinga iman. Hati nurani mereka menjadi mati karena kemauan orang banyak. Suara orang banyak (mayoritas) itu telah menindas kebenaranNya. Suatu keadaan yang ironis. Sementara Filistin:

  1. Mereka ketakutan
  2. Mereka merasakan kehadiran Tuhan, padahal mereka kafir. Sementara Israel yakin Tuhan ada di tengah2 mereka padahal Tuhan tak ada di antara mereka.
  3. Perasaan celaka dan terkutuk
  4. Perasaan bahwa Tuhan tak akan menolong mereka alias pasti binasa
  5. Timbul pengakuan bahwa TUHAN ISRAEL mahadahsyat sejak dari Mesir.
  6. Mereka bersepakat bersatu hati saling menguatkan agar berani layaknya laki2 jantan
  7. Kemenangan ada di pihak Filistin dengan menewaskan 34.000 Israel
  8. Kemenangan yang fantastis
  9. Tabut Tuhan berpindah ke tangan Filistin

Ini cara Tuhan menghukum umatNya karena ketidaktaatan dan teledor dalam memahami firmanNya. Israel sudah tewas 4000 bertambah menjadi 34.000 ribu jiwa. Tuhan sangat serius agar anak2Nya tidak menggugurkan firmanNya.

Tabut Tuhan yang berpindah ke Filistian menjadi suatu ironi untuk menghukum keluarga Eli, Hofni dan Pinehas, Istri Pinehas yg hampir mati dan anak yang dilahirkannya tidak diperhatikannya lagi. Tuhan setia kepada firmanNya untuk mendisiplin. Sebagaimana yang telah disampaikan kepada Samuel di pasal 3. Tuhan sangat serius dengan perkataanNya.

Di akhir episode pasal 4 ini sayup2/ tipisnya pengharapan Israel dengan nama tragis dari cucu Eli “Ikabod”, artinya hilangnya, pudarnya, lenyapnya kemuliaan Tuhan. Kontras dengan Tabut Tuhan yang nyata diantara Israel dan Filistin. Dari mulut menantu Eli yang sedang sekarat pun keluar kata penghinaan kepada Tuhan: “Tuhan (kemuliaan) tidak ada diantara kita”. Dalam keadaan krisis orang mudah mengalami disorientasi iman, kepercayaan.

Sang Imam Eli, ditengah krisis imanya dan keburukan etiketnya masih merisaukan Tabut Yang Dirampas, tetapi sudah sangat terlambat menyadari. Tuhan tidak lagi memberikan kesempatan untuk hidup. Ia dibunuh oleh kenyamanannya sendiri, terjatuh dari kursinya sendiri. Ia mati oleh kesalahannya sendiri. Seolah2 Tuhan membasuh tanganNya untuk tidak mencampuri kematiannya. Sangat tragis dan ironi jatuh dari kursi dengan batang leher patah suatu hiperbola dari penulis sastra kitab ini menunjukkan dosanya sangat mematikan.

Pelajaran penting bagi2 pemimpin kristen dan siapa pun di mana saja dan kapan saja di setiap zaman untuk tidak mengabaikan suara Tuhan. FirmanNya yang selalu hadir dengan kita agar tidak digugurkan oleh kita sendiri, kalau tidak Ia akan mengugurkan kita dengan cara yg sepele.

Salam Tonny Mulia Hutabarat

29 November 2021