Eksposisi Yakobus 1: 12-18

Suatu kali ada seorang teman dekat saya, kami sedang berbincang-bincang tentang pelayanan, ia berkata begini kepada saya, “kamu itu terbatas, jangan semua dimauin, jangan mencobai diri sendiri!” Sejenak saya berhenti berbicara, dan menatap wajah teman dekat saya dan mengatakan, “terima kasih, kamu baru saja menampar dan membangunkan saya.” Perkataannya seketika itu, seperti suara petir datang pada saat awan mendung di langit.

Mencobai diri secara sadar atau tidak sadar sering kita lakukan. Setidaknya ada dua alasan, mengapa kita jatuh di dalam pilihan untuk mencobai diri. Alasan pertama, karena kita menantang diri kita untuk bisa menaklukkan sesuatu pekerjaan ataupun tugas yang mungkin belum pernah dilakukan dan tidak bisa dilakukan. Alasan kedua, kita mengambil pilihan untuk mengerjakan sesuatu itu, karena kita kira-kira sudah punya gambaran dan bisa memprediksi apa untung rugi yang kita dapatkan dari sebuah keberhasilan ataupun kegagalan pilihan tersebut. Sehingga, “mencobai diri sendiri” itu erat kaitannnya dengan prediksi.

Pada bagian ini, Yakobus melanjutkan nasihatnya kepada orang-orang diaspora (kedua belas suku yang tersebar di perantauan), tentang bagaimana membedakan antara sebuah ujian dan cobaan. Hal ini dilakukan Yakobus, karena ia mengetahui akan lebih banyak lagi tantangan lagi yang dihadapi orang percaya, dalam imannya kepada Yesus Kristus, ketika mereka hidup di perantauan. Oleh karena itu, Yakobus memberikan sebuah petunjuk supaya di dalam imannya, orang percaya dapat menentukan pilihan yang tepat dan berhikmat untuk menentukan mana kejadian atau peristiwa yang datang dari Tuhan sebagai ujian, yakni memikul Salib, membayar harga sebagai konsekuensi logis percaya kepada Tuhan, dibandingkan dengan cobaan yang datang dari diri sendiri, atau karena pilihan “mencobai diri sendiri.”

Pembedaan yang paling menonjol ditunjukkan Yakobus, yakni, bahwa cobaan itu lahir ketika suatu kejadian atau peristiwa dari pikatan dan pesona keinginan diri untuk dibuahi menjadi sesuatu yang jahat bahkan menjadi dosa (ay.14-15), dibandingkan dengan kejadian atau peristiwa yang datang dalam naungan anugerah dan kedaulatan Allah, untuk menyatakan dan menyingkapkan siapa diri Allah (ay.17-18). Artinya, cobaan itu datang karena sebuah orientasi kepada pemuasan kemuliaan diri, sementara ujian itu berorientasi kepada pemuasan dan kemuliaan Allah, untuk sebuah pengujian kesetiaan dan komitmen iman seseorang.

Oleh karena itu, Yakobus di dalam ayat 16 menekankan janganlah sesat (Yun: Planasthe, bhs inggris: mislead). Kata ini adalah sebuah kata perintah, supaya seseorang jangan terpengaruh dan terpedaya, sehingga menghindari kerentanan untuk menularkan pengaruh ini kepada orang lain. Karena orientasi kepada pemuasan keinginan diri dan memuliakan diri sendiri, di dalam perjalanan iman percaya, sangatlah tipis batasannya. Alih-alih melakukan kehendak Allah dan hendak memuliakan-Nya, justru memberikan pemuasan bagi diri sendiri dan kemuliaan diri sendiri.

Sebagai perenungan untuk kita, di setiap aspek kehidupan, di dalam lingkungan keluarga, pekerjaan, kehidupan bergereja, bermasyarakat dan bernegara, kita sering diperhadapkan pada sebuah pilihan. Pilihan ini bisa kita reka-reka dan kita prediksi. Mungkin di dalam kita mencoba memprediksi tentang hasil akan pilihan itu, kepekaan kita sudah diingatkan pertama kali, melalui akal budi dan hati nurani kita, tetapi kita mengesampingkan dan mengabaikan. Orang sekitar juga mungkin sudah memperingatkan kita, untuk tidak “mencobai diri sendiri,” tetapi ego kita lebih kuat untuk dipuaskan, sehingga kita mengabaikan saran dan pendapat orang lain.

Kita semua rentan mengalami hal ini. Oleh karena itu, ujilah segala sesuatu itu dari sebuah orientasi, apakah suatu tindakan itu akan dapat diprediksi kepada pemuasan dan pemuliaan diri sendiri atau kelompok atau akan memuaskan dan memuliakan Allah. Akan tetapi, di dalam memuliakan Allah, segala hal harus diuji secara tepat dan benar sesuai firman-Nya, bukan dari apa yang kita pikirkan dan kita reka-rekakan. Inilah kehidupan yang akan kita jalani di dalam iman kita kepada Yesus Kristus, bahwa akan ada suatu paradoks pilihan hidup. Hanya menjadikan Yesus sebagai kebenaran dan jalan hidup, adalah jawaban kita untuk berhikmat menghadapi situasi paradoks kehidupan.

Sdr. Asidoro Sabar Parsaulian Pasaribu