Eksposisi Yakobus 1:2-8

Hidup adalah sebuah perjalanan bermetamorfosis, artinya seseorang akan berjalan bertumbuh dan berkembang serta mengalami pengalaman pribadi dalam sebuah “kesakitan” akan sebuah proses pertumbuhan tersebut. Seseorang dalam kurun usia anak-anak akan nyaman dengan bermain, dalam usia remaja akan berusaha mencari jati diri, dalam usia remaja sampai dewasa akan fokus kepada sebuah relasi dan sebuah nilai yang dilekatkan kepada dirinya. Dalam rentang usia itu, ketika beralih akan membutuhkan sebuah adaptasi. Demikian pula halnya iman yang tertanam di dalam setiap pribadi, mengalami pertumbuhan melalui setiap pengalaman dan perjalanan spiritual melewati ujian dan pencobaan, membutuhkan sebuah adaptasi menghadapi transisi.

Yakobus sebagai orang yang berada di “inner circle” kehidupan pelayanan Yesus, berusaha menuliskan sebuah “surat umum” bukan bersifat lokal kepada satu kelompok jemaat, yang berisikan perintah dan petunjuk kepada orang-orang Yahudi (kedua belas suku), yang tersebar di berbagai wilayah (diaspora), tentang bagaimana kehidupan mereka akan mengalami “kesakitan” dalam pertumbuhan iman serta perjalanan spiritual mereka mengikut Tuhan. Mereka yang tersebar akan mengalami penganiayaan dan intimidasi serta akan membuat mereka terguncang. Oleh karena itu, Yakobus menuliskan surat ini untuk memberikan mereka semangat sekaligus sebagai nasihat praktis dalam menjalani sebuah proses pertumbuhan iman.

Proses petumbuhan iman dan perjalanan spiritual yang akan dilalui oleh kedua belas suku Yahudi di perantauan itu (diaspora), tidak akan lepas dari sebuah pencobaan dan ujian iman, sehingga mereka harus bertekun (ay. 2-3). Ketekunan itulah yang akan menyempurnakan keutuhan iman dan menjadi iman yang matang (ay.4). Oleh karena proses ini adalah perjalanan sepanjang hidup, diperlukan hikmat yang dimintakan kepada Allah, yakni hikmat Ilahi. Hikmat ini harus didasari iman percaya terlebih dahulu, sehingga dapat dilakukan dengan sebuah asa, terjadi sesuatu yang baik menurut rancangan Allah, serta dengan hikmat tersebut menghindari sebuah kebimbangan (ay.5-6), supaya tidak mendua hatinya.

Sebagai perenungan untuk kita renungkan bersama, kita mungkin pernah beranggapan bahwa iman itu hanya bersifat sekali-selesai. Artinya, ketika kita mengatakan percaya kepada Yesus, maka setiap peristiwa demi peristiwa di dalam kehidupan kita, kita merasa tidak selalu melibatkan Yesus, karena Yesus hanya kita anggap sebagai pribadi yang hadir dalam sebuah relasi peribadatan di dalam gereja. Sehingga, di dalam rumah, tempat kita bekerja, tempat kita sekolah atau bahkan di tempat kita berekreasi, kita mengesampingkan kehadiran dan keterlibatan Yesus. Kita memisahkan aspek kehidupan kita dalam sebuah tempat khusus, untuk menghubungkannya dalam relasi iman, yakni kita dengan Allah.


Menghadirkan Allah di dalam setiap aspek kehidupan dan memercayai perkataan-Nya lebih dari sekedar bagaimana Allah mendemonstrasikan kuasa serta wujud kasih-Nya di dalam kehidupan kita. Artinya, kita selalu berfokus kepada menghadirkan Allah layaknya saklar lampu “ON-OFF,” sehingga kita bisa mengaktifkan dan menonaktifkan Allah sesuai kehendak kita. Sehingga di dalam kehidupan kita, pertumbuhan iman dan perjalanan spiritual kita untuk mengenal Tuhan juga akan “Hidup-Mati,” karena seringnya kita menggunakan pola pikir saklar lampu. Hal itu berakibat, hikmat dari Allah tidak menaungi kehidupan kita, karena tidak ada ruang bagi Allah untuk berdiam di dalam hidup kita. Sehingga, ketika kita menghadapi ujian dan pencobaan, kita akan mudah undur diri, karena kita menggunakan kekuatan dan kemampuan kita, yang tidak akan mungkin memenangkan pertarungan akan pilhan yang benar dan salah. Hal inilah yang membuat kita gagal untuk bertekun dan memiliki kepenuhan dalam iman serta pengenalan akan siapa Yesus? Oleh karena itu, kita butuh hikmat Ilahi, supaya kita bisa bertekun dalam iman dan perjalanan spiritual untuk mengenal Yesus, sebagai pengantara kita sampai kepada Bapa di Sorga.

Asidoro Sabar Parsaulian Pasaribu
09 November 2021