Minggu, 05 September 2021 – Ev. Samuel Soegiarto, M. Th.
Mayoritas orang Kristen percaya bahwa Tuhan Allah itulah satu-satunya pribadi yang dapat dipercayai dan menjadi tempat sandaran hidup, apalagi di tengah-tengah situasi yang tidak menentu seperti sekarang ini. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah kepercayaan kepada Tuhan, Raja yang Kekal itu merupakan kepercayaan yang otentik atau hanya sekadar pemanis bibir saja?
Ada pertanyaan refleksi yang dapat direnungkan berdasakan Mazmuar 146, yakni:
Pertama, siapa atau apakah yang menjadi pusat pengharapan hidup kita? Apakah memang Tuhan Allah, satu-satunya pengharapan dan sandaran hidup kita? Atau Tuhan hanyalah salah satu dari antara banyak pribadi atau sesuatu yang kita andalkan?
Ada banyak orang yang seringkali mengandalkan orang lain, seperti keluarga, pasangan, orang tua, atau mengandalkan harta kekayaan, atau ada pula yang mengandalkan kekuatan dan keahlian yang dimiliki. Semua hal yang disebutkan ini sebenarnya hal yang baik, tetapi tidak bisa menjadi tempat pengharapan hidup. Sebagaimana pemazmur 146 mengajak setiap orang untuk tidak percaya kepada para penguasa. Bisa jadi mereka ini bukanlah orang jahat atau orang lain. Bisa jadi mereka tergolong orang baik yang memang bisa memberikan pertolongan. Tetapi pemazmur tetap mengingatkan supaya kita tidak mengandalkan “penguasa” karena keterbatasannya. Sehebat-hebatnya orang, harta, kepandaian dan keahlian, semuanya itu tetaplah sesuatu yang terbatas.
Bahkan, lebih dari itu semua, larangan pemazmur ini diberikan karena umat Tuhan sudah memiliki yang terbaik, yakni Tuhan Sang Pencipta langit dan bumi. Ia jugalah yang memberikan berbagai hal-hal baik dalam kehidupan. Maka, betapa bersalah dan berdosanya ketika kita sudah memiliki sumber kehidupan, tetapi justru mengandalkan yang lain. Apalagi, bagi kita orang Kristen, kita bukan hanya memiliki Allah yang menciptakan, tetapi juga Allah yang sudah menyelamatkan melalui pengorbanan-Nya menanggung dosa manusia. Maka bukankah sudah sewajarnya jika kita hanya menyerahkan diri dan hidup kita kepada Tuhan?!
Kedua, pemazmur hendak mengajak kita berefleksi tentang kasih yang kita berikan. Kepada siapakah kasih itu kita nyatakan? Apakah kita hanya akan mengasihi orang-orang yang baik, yang menguntungkan?
Pemazmur menyatakan dalam ekspresinya bahwa Tuhan adalah Allah pribadi yang mengasihi, memperhatikan dan menjangkau mereka yang lemah, terbuang dari lingkungan. Ia adalah Allah yang memulihkan yang terluka, mencelikkan yang buta, membebaskan mereka yang terkurung. Di dalam menggambarkan semua pekerjaan-pekerjaan yang Allah lakukan, pemazmur menyatakan bahwa Allah juga mengasihi orang yang benar dan membengkokkan atau menggagalkan rancangan orang jahat. Bagian ini bukan mengisyaratkan bahwa mereka yang benar adalah mereka yang tersisihkan, tetapi justru mereka yang benar adalah mereka yang berjuang dan belajar menyatakan kasih kepada orang-orang yang membutuhkan.
Kasih kepada sesama, dengan penuh ketulusan dan pengorbanan ini juga telah ditunjukkan oleh Yesus Kristus melalui inkarnasi sampai karya kayu salib. Kasih-Nya diberikan secara penuh kepada mereka yang melawan. Kasih-Nya yang menggerakkan Yesus Kristus mengorbankan diri. Dan kasih yang Ia telah nyatakan itulah kasih yang juga diberikan kepada setiap kita, untuk memampukan kita mengasihi sesama, bahkan meskipun harus berkorban.