Renungan 4 Maret 2021

Mazmur 90 : 10 – 12

10  Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.

11  Siapakah yang mengenal kekuatan murka-Mu dan takut kepada gemas-Mu?

12  Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.

Banyak pandangan di sekitar kita mengenai Waktu; ada yang menganggap waktu bisa diulang, setiap hari jumlahnya sama yaitu 24 jam, namun bukankah tidak tiap kesempatan bisa diulang kembali?  Itu artinya waktu tidaklah bisa diulang.  Ada yang memandang waktu adalah uang, setiap kesempatan harus digunakan untuk mencari uang, namun kita lupa bahwa waktu adalah sebuah hal yang tidak bisa dibeli dengan uang dan itu artinya waktu jauh lebih berharga dari uang.  Ada yang menyadari bahwa waktu hidup itu hanya sekali, namun respon yang dilakukannya justru salah yaitu memanfaatkan dan menghabiskan waktu hanya untuk kesenangan hidup yang bersifat sementara.

Firman Tuhan mengajarkan bahwa waktu tidak bisa diulang, hanya satu kali dan bahkan singkat dan berjalan dengan begitu cepat.  Apa yang kita lakukan di dunia ini dalam penggunaan waktu seringkali hanya untuk hal-hal yang fana, karena itu kita harus sangat bijaksana dan menggunakan hikmat yang dari TUHAN agar setiap hal yang kita lakukan dalam penggunaan waktu yang dianugerahkan TUHAN kepada kita dapat kita gunakan untuk mempersiapkan diri dan untuk hal-hal yang bernilai kekal, hasilnya boleh kita nikmati bukan saja sekarang di dunia ini namun juga nanti di dalam masa kekekalan di sorga yang mulia.

Marilah kita mengingat bahwa sesungguhnya kehidupan kita di dunia ini merupakan penugasan yang sementara.  Penugasan yang kita terima dari TUHAN yang adalah Raja dari Kerajaan Allah di mana kita merupakan warganya.  Kita tidak boleh menikmati dunia ini dan segala isinya secara berlebihan dan terikat oleh dunia seakan-akan ini adalah tempat kita sesungguhnya.  Tempat kita adalah di sorga, mari kita melakukan hal-hal yang menjadi kehendak Raja Sorga.  Jangan mencintai dunia ini lebih dari cinta kita kepada Allah.  Karena itu, hidup kita di dunia penuh dengan konsekuensi, bisa jadi dunia membenci kita karena kita beda dengan mereka.  Pergumulan-pergumulan yang diizinkan TUHAN menimpa kita, bisa jadi berupa penderitaan, penolakan, kekecewaan, semuanya itu digunakan oleh TUHAN untuk mengingatkan kita bahwa tempat kita bukan di sini namun di sorga.  Jangan mencintai kesuksesan dan nikmat dunia, namun kejarlah apa yang ada di sorga untuk kita nikmati nantinya.

Penerapan nyata dari memusatkan hidup kepada sorga ada beberapa hal, antara lain; jangan biarkan keterikatan hati kita akan kemilau dunia ini menguasai kita.  Manusia bekerja, iya pasti, namun bukan untuk cintanya akan harta, melainkan untuk tanggung jawab sebagai orang percaya yang memang menerima mandat dari TUHAN untuk bekerja.  Dalam hal keterikatannya akan dosa, sebagai orang percaya yang mau melepaskan keterikatan akan dunia ini, harus senantiasa berjuang pula melawan kebiasaan dosa yang masing sering mengikat.  Pola hidup yang terus berjuang secara demikian akan membawa kita semakin jauh dari keterikatan akan dunia dan akan membawa kita semakin mendekat kepada TUHAN dan kehendak-Nya.  Urip iku mung mampir ngombe (Hidup itu cuma mampir minum); gambaran waktu kehidupan yang sangat singkat; namun demikian mengingat betapa singkatnya hidup, janganlah biarkan hidup kita menjadi tidak bermakna, namun maknailah hidup untuk melakukan setiap kehendak-Nya yang telah ditetapkan oleh-Nya menjadi tujuan hidup kita.  Amin.

Ev. Franky Oktavianus Nugroho
4 Maret 2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *