Realitas Ibadah — Zakaria 7:1-14

LD Tonny Mulia Hutabarat
Kamis, 29 Agustus 2024

Realitas Ibadah — Zakaria 7:1-14

“Katakanlah kepada seluruh rakyat negeri dan kepada para imam, demikian: Ketika kamu berpuasa dan meratap dalam bulan yang kelima dan yang ketujuh selama tujuh puluh tahun ini, ADAKAH KAMU SUNGGUH-SUNGGUH BERPUASA UNTUK AKU? (Zec 7:5 ITB)

Tuhan selalu mendefinisikan penyembahan sejati sebagai sesuatu yang berasal dari hati, bukan rutinitas, bukan pertunjukan. Dan itulah pesan yang ingin disampaikan Zakaria.

Renovasi pembangunan Yerusalem telah selesai karena keputusan Darius yang dicatat dalam Ezra pasal 6. Situasinya terlihat bagus. Kota mereka akan dipulihkan. Masyarakat sangat senang dengan semua ini. Tetapi ada bahaya besar bahwa mereka kembali ke pola yang sama seperti di masa lalu. “Mereka masih tetap melakukan ritual puasa menangis untuk diri mereka sendiri”. Ritual puasa dan menangis yang rutin selama 70 tahun dilakukan hanya dengan alasan untuk mengenang penderitaannya bukan untuk memuliakan TUHAN. Jadi ini ritual yang legalistik, kosong, membosankan, melelahkan dan menyakitkan bagi Tuhan. Kenyataannya mereka berpuasa bukan untuk TUHAN – 7:4. Bahkan ketika paska puasa, mereka makan dan minum untuk mempermuliakan diri sendiri (7:5-6). Ini adalah kejahatan ibadah yang serius.

Puasa yang sebenarnya adalah puasa hati yang hancur dan penyesalan (pertobatan dari dosa-dosa). Ketaatan pada firman Tuhan lebih penting dari pada ritual puasa (7:7). Mendengarkan dan melakukan Firman Tuhan akan ada sukacita, kedamaian, kemakmuran. Dan itulah kuncinya. Jadi bukan ritual, bukan rutinitas, tetapi “obedience”.

Realitas ibadah yang sejati adalah mewujudkan keadilan sejati, al: tunjukkanlah belas kasihan, tidak menindas janda atau anak yatim, orang asing atau orang miskin. Pesan sederhana, tetapi sangat bermanfaat bagi kemanusiaan.

Realitas ibadah yang sejati adalah (1) mengasihi, menghormati, menghargai, dan menyokong orang lemah. (2) memulihkan persatuan dan keharmonisan. (3) mendemontrasikan kebaikan dan simpati, dalam semua hubungan antarmanusia. (4) membongkar kejahatan yang mengeksploitasi kaum lemah. Tidak mendukung mafia kejahatan di negeri/kota. Jadi Tuhan tidak tertarik dengan ritual ibadah belaka. Tuhan tertarik dengan penyelenggaraan keadilan dalam komunitas mayarakat (bdk Yesaya 58:3). Puasa yang dikenan Tuhan adalah melepaskan belenggu kejahatan.

Tuhan tidak menginginkan ritual-ritual, tetapi DIA menginginkan hati kita untuk menyembahNya, telinga kita untuk mendengarNya, tangan dan kaki kita untuk mentaatiNya. Bila tidak, murkaNya menyala-nyala (7:12). Kota Yerusalem menjadi sepi, gersang, bahkan lalang pun tidak mau tumbuh. UmatNya tidak mau mendengarkanNya, maka Tuhan pun tidak mau mendengarkanmereka (7:13).
Intinya semua yang dilakukan pada ritual-ritual hanyalah membuat suatu bentuk tradisi agama. Jadi, TUHAN tidak tertarik pada bentuk ritual, Dia tertarik pada kenyataan hati yang radikal melakukan Firman Tuhan.