Eksposisi Yakobus 5:1-6

Semua orang ingin hidup sukses dan mapan. Hidup sukses dan mapan biasanya dinilai dengan sebuah indikator kekayaan. Akan tetapi, sesungguhnya kekayaan itu bersifat relatif, karena setiap orang dapat mendefinisikan kekayaan itu berbeda-beda dan tidak ada jumlah tertentu yang berkaitan dengan materi, yang bisa disepakati bersama untuk menyebut seseorang itu disebut kaya. Jadi, apakah seseorang boleh kaya? Bagaimanakah Alkitab menilai kekayaan itu sesungguhnya?

Pada bagian ini Yakobus melanjutkan nasihatnya dengan memberikan sebuah perintah dari sebuah gambaran kehidupan, di mana banyak orang yang berjuang untuk menjadi kaya atau Makmur. Bagian ini adalah bagian yang sama dari pasal 4:13-17, tentang nasihat kepenuhan spiritualitas yang memfokuskan pada sebuah paradigma tentang hubungan waktu dan nilai kekekalan. Artinya, tentang paradigma kekayaan itu sendiri berdasarkan konsep kekekalan.
Perintah yang diberikan Yakobus tentang kekayaan, hampir sama di dalam perikop pasal 4:13-17, di mana pada pasal 5 ayat 1, dimulai dengan kata “AGE NUN” yang diterjemahkan dengan “jadi sekarang” (kata AGE ini, sama fungsinya seperti kata AGE dalam pasal 4 ayat 13, seperti sebuah perintah dan retorika yang menggambarkan keadaan, kalau diterjemahkan secara literal, “Jadi sekarang kamu bagaimana?”-ditujukan kepada orang kedua tunggal). Penekanan ini dilanjutkan dengan kata sifat “kaya”, yang merujuk kepada orang kaya, bahwa mereka akan menangis dan meratap.

Fokus penekanan kekayaan itu menjadi sia-sia ditunjukkan di dalam ayat 2-3, bahwa kekayaan itu akan menjadi busuk, pakaian akan dimakan ngengat, emas dan perak akan berkarat serta itu akan berdampak sampai kesudahan hidupnya, akibat mengumpulkan harta pada perjalanan hidupnya, yang seharusnya kepada kekekalan (lihat frasa “hari akan berakhir).
Pada ayat ke 4-6, Yakobus mencoba menunjukkan buktinya, bahwa sesungguhnya orang kaya itu akan menuai akibatnya, mereka akan menangis dan meratap karena mereka mengumpulkan kekayaannya dengan mengorbankan orang lain, di mana ada upah buruh yang ditahan, yang telah bekerja untuk mereka dan orang kaya berfokus untuk mencari keuntungan belaka. Selain itu, mereka hidup berfoya-foya dari hasil keringat orang lain, serta menilai bahwa kekayaan itu adalah hasil terakhir tetapi dengan mengorbankan “korban sembelihan,” digambarkan hatinya terpuaskan seperti hari penyembelihan. Artinya di sini, orang kaya itu akan mengorbankan orang lain dan kepentingan orang banyak. Selain itu, orang kaya akan memakai ukuran berdasarkan perhitungan mereka (mematikan dan menghukum orang benar), dan memakai kekayaannya untuk menentukan segala sesuatu atau berkuasa atas nama kepentingan pribadinya.

Dari penggambaran ini, kekayaan adalah sesungguhnya bersifat sementara, bahwa segala sesuatunya itu akan habis dan tidak kekal. Keinginan seseorang menjadi kaya akan membuat seseorang fokus kepada hasil dan keuntungan, di mana hal itu akan mempunyai kecenderungan mengorbankan orang lain. Selain itu kekayaan juga bisa menjadi berhala, yang membuat seseorang akan menjauh dan menduakan Tuhan. Karena di mana hartamu berada, di situlah hatimu berada (Matius 6:21). Di sinilah hal yang harus kita waspadai, karena tidak ada seorang pun yang dapat mengabdi kepada dua tuan, yang satu kepada Allah dan yang lainnya adalah adalah Mamon (Mat. 6:24). Pada prinsipnya menjadi kaya adalah bukan tujuan tetapi suatu anugerah yang diberikan Allah melalui janji pemeliharaan-Nya. Janji pemeliharaan-Nya ini harus ditujukan untuk suatu keadaan Shalom, yakni dapat mendatangkan damai sejahtera bagi lingkungan sekitar dan melalui materi yang dimiliki, semua dikembalikan sebagai alat untuk menunjukkan kebesaran Tuhan dan memuliakan-Nya. Karena itulah sesungguhnya tujuan pencapaian kita terakhir, yakni untuk menikmati Allah di dalam setiap aspek kehidupan kita dan memuliakan Allah (Katekhismus Westminster).

Harta atau materi adalah bukti kebesaran Allah melalui anugerah-Nya, bukan hasil terakhir dan indikator di dalam kekekalan. Hidup benar dan terus mengejar kebenaran Allah, melalui pemurnian hidup adalah nilai di dalam kekekalan hidup yang harus kita perjuangkan. Semua itu bisa terjadi, oleh karena anugerah pembenaran-Nya semata. Apa sesungguhnya yang menjadi tujuan akhir pencapaian kita, di dalam kesementaraan hidup di dalam dunia atau yang terjadi pada kekekalan nanti?

Sdr. Asidoro Sabar Parsaulian Pasaribu

4 Januari 2022