1 Petrus 4: 12-19

Menjalani kehidupan di dunia, tidak akan pernah terlepas dari pesona tawaran dunia yang berfokus kepada pemuasan keinginan daging. Ketika keinginan daging itu tidak mampu dipuaskan, hal itu akan menyakiti dan membuat seseorang yang pernah menikmatinya akan mengalami apa yang dinamakan “penderitaan.” Pada sisi lainnya, seseorang yang beriman, memilih untuk tidak mengambil tawaran dunia demi memuaskan keinginan dagingnya melalui hasrat dan pemenuhan kebutuhan serta eksistensi diri, akan mengalami “penderitaan,” dalam bentuk yang berbeda yakni intimidasi, penganiayaan, olokan dan cibiran sampai sebuah pengucilan. Dalam dua posisi ini, kita dapat menyimpulkan bahwa “penderitaan” adalah suatu keadaan yang pasti terjadi dalam sebuah arti sempit.

Petrus dalam perikop ini, sedang berusaha mengingatkan kondisi penderitaan yang seharusnya dialami orang percaya, bukan karena upaya memuaskan keinginan daging melainkan karena iman kepada Kristus (ay.13). Petrus menyebutkan kondisi “penderitaan” itu bukanlah “sesuatu yang luar biasa,” baik kondisi yang dialami pada masa kini maupun yang akan dialami di kemudian hari sebagai akibat perbuatan, yakni sebuah “siksaan api yang membakar.” Sesuatu yang bukan “luar biasa itu” pada ayat 12 diterjemahkan LAI dengan kata “Heran” (yun: Xenizesthe, artinya sebuah keterkejutan seperti melihat orang asing). Penderitaan pada masa sekarang coba dibandingkan pada penderitaan yang akan dialami pada akhir zaman (eskaton), di mana setiap orang akan mempertanggungjawabkan perbuatannya pada penghakiman akhir, seseorang yang beriman kepada Kristus dan melakukan tindakan dan perbuatan benar akan diselamatkan, sementara mereka yang tidak percaya dan berusaha memuaskan keinginan dagingnya semasa hidupnya di dunia akan menerima murka (ay, 17-18).
Penggambaran oleh Petrus itu secara jelas diperbandingkan “penderitaan karena perbuatan pemuasan daging” (ay. 12 dan 15) yang dibandingkan dengan “penderitaan karena iman kepada Kristus” (ay. 13, 14 dan 16). Petrus menekankan, “Penderitaan karena iman kepad Kristus” seharusnya membuat seseorang “Tidak menjadi malu” melainkan “Memuliakan Allah” (ay.16), karena bernilai kekekalan, yakni kehidupan kekal pada penghakiman akhir (ay.17-18).

Melihat penggambaran yang diberikan oleh Petrus ini, “penderitaan” manakah yang kita pilih, apakah kita memilih “menderita” karena keinginan daging kita tidak terpuaskan tetapi mendatangkan keselamatan dan kehidupan kekal serta kemuliaan Allah, atau dalam posisi sebaliknya, kita berusaha menikmati semua tawaran dunia, untuk memuaskan keinginan kita selama kita hidup di dunia tapi beroleh “kematian kekal” pada kehidupan setelah kematian? Pilihan itu semua tergantung kita. Akan tetapi, yang harus diingat bahwa apapun yang kita lakukan untuk “Menghindari atau menikmati Penderitaan,” semasa hidup di dunia bukanlah untuk sebuah motivasi kita mendapatkan keselamatan atau manfaat lain dari Allah. Karena, apabila kita memiliki motivasi seperti itu, maka kita bermain untung-rugi dengan Tuhan dan kita menciptakan sebuah “Figur Tuhan” yang kita ingini dan “kreasikan.” Inilah sebuah kewaspadaan untuk kita. Kita hidup dalam anugerah dan kasih karunia yang sudah menolong kita dari hari ke hari, untuk berjalan dalam iman, di mana Roh Kudus memberikan kita petunjuk dan kemampuan untuk kita menguduskan diri, itulah yang kita alami semasa kita hidup.

Perjalanan kehidupan kita sebagai pengikut Kristus, memang akan membuat harga yang mahal, yakni yang membuat kita seolah-olah “menderita dalam daging.” Mari, kita berfokus untuk harga “penderitan di dalam Kristus,” dengan berupaya terkoneksi dengan-Nya, melalui Roh Allah yang ada pada kita (ay.14), karena hanya Dialah yang memampukan kita “menahan kesakitan,” ketika keinginan daging kita tidak terpuaskan. Kristus cukup untuk kita.

Asidoro Sabar Parsaulian Pasaribu
7 Oktober 2021