Minggu, 17 Januari 2021 – Pdt. Evien Jansen

Satu hal yang harus diingat bahwa tidak mungkin sebuah hukum bisa disebut hukum jika tidak ada konsekuensi di dalamnya. Hukum itu hanya bisa disebut sebagai himbauan atau saran jika tidak mengandung konsekuensi. Ketika membicarakan akan hal ini, maka seringkali orang mempertentangkan antara kasih dan hukum. Jika kita mengasihi seseorang maka tidak mungkin kita akan menerapkan hukum kepada mereka, demikian sebaliknya. Lalu bagaimana Alkitab memandang akan hal ini? Terlebih ketika membicarakan tentangAllah yang kasih danAllah yang adil?

Alkitab dengan jelas memberikan satu realita bahwa semua orang telah berdosa dan harus menerima hukuman (Rm. 3:23; 6:23). Dosa manusia mendatangkan murka Allah atas mereka dan Allah adalah Allah yang adil dan pasti akan menyatakan keadilan-Nya. Namun di sisi lain, Allah adalah kasih, Dia mengasihi manusia (Yoh. 3:16). Seringkali gereja hanya menekankan sisi tentang kasih Allah namun sangat sedikit mengajarkan tentang murka Allah sehingga tanpa disadari membuat jemaat “meremehkan” murka Allah.


Mengutip apa yang disampaikan John Piper tentang murka Allah, ada beberapa hal yang Alkitab ajarkan:

  • Mengerikan dan kekal (Rm. 2:6-8, 2 Tes. 1:8-9)
  • Telah dimulai dan nyata (Rm. 1:18)
  • Penghakiman terakhir akan dinyatakan (Rm. 2:5)
  • Karena dosa kita (Roma 3:23; 1:23; 3:9-10)
  • Benar (Roma 3:5-6)


Murka Allah adalah hal yang serius dan mengerikan dan harus dipuaskan. Namun kasih Allah juga adalah hal yang tidak bisa diabaikan. Lalu bagaimana hal yang terlihat seperti pertentangan ini diselesaikan? Masalah ini diselesaikan dengan Kristus yang hadir ke dalam dunia ini (Rm. 3:25-26).
Kehadiran Kristus ke dalam dunia bukan sekadar untuk menunjukkan betapa Allah sangat mengasihi manusia melainkan juga untuk menyatakan keadilan-Nya.


“Salib, tempat dimana murka Allah dan cinta-Nya bertemu”