Eksposisi Yakobus 3:13-18

Ada sebuah peribahasa yang dikenal sebagai “ilmu padi” yang berbunyi demikian, “Bagaikan padi, semakin berisi semakin merunduk.” Peribahasa ini mengambil gambaran pertumbuhan padi, yang dikenakan pada kehidupan manusia. Bahwa setiap pribadi, yang mempunyai banyak pengetahuan, atau memiliki kesuksesan hendaklah ia menghidupi hidupnya layaknya pertumbuhan padi, dengan maksud ia tidak memiliki kecongkakan dan keangkuhan diri, dan selalu berpikir bahwa ada orang yang bisa lebih baik dan dapat melakukan banyak hal dengan segala yang dimilikinya untuk menjadi berkat.

Memiliki sesuatu yang dominan di dalam diri bisa memaksa seseorang untuk menyombongkan diri atau di sisi lainnya, ia makin rendah hati dan mengganggap dirinya belum seberapa, “di atas langit masih ada langit.” Hal-hal yang dominan itu dapat berupa materi, paras tubuh, pengetahuan yang khusus atau keahlian, serta gelar atau sebuah jabatan. Di dalam kondisi ini, setiap pribadi mempunyai kecenderungan untuk tampil terdepan dan meremehkan sekelilingnya. Hal itu terjadi, karena menurut penelitian secara psikologi, bahwa di dalam karakter dan tipikal diri atau “self,” akan memaksa setiap pribadi berjuang untuk sebuah dominasi di tengah persamaan dan perbedaan karakter diri yang mungkin dimiliki pribadi di dalam satu lingkungan dan komunitasnya.

Pada bagian perikop ini, Yakobus melanjutkan sebuah nasihat kepada komunitas iman yang merantau (kedua belas suku, Yak. 1:1), mengenai kepenuhan spiritualitas di dalam lingkup komunitas beriman. Bahwa, di dalam iman kepercayaan dan tingkatan pengetahuan serta pengenalan akan Tuhan dan pengenalan akan diri, setiap pribadi harus mewaspadai kecenderungan untuk tidak menggunakan hikmat diri sendiri (ay.13) melainkan menghidupi dirinya berdasarkan hikmat kelembutan. Artinya, hikmat kelembutan inilah yang harus dipakai untuk menghidupi iman kepercayaannya melewati setiap pergumulan dan tantangan hidup yang mereka jalani. Hikmat kelembutan ini menurut Yakobus, adalah hikmat firman Tuhan yang tertanam di dalam hati manusia, yang berkuasa menyelamatkan jiwa (Yak. 1:21).

Yakobus menguraikan pesannya, dengan membedakan hikmat kelembutan dan hikmat diri sendiri, di mana hikmat diri sendiri diuraikan di dalam ayat 14-16, setelah di ayat 13 menasihati orang bijak dan berakal budi.Dari penguraian pada ayat 14-16, hikmat diri sendiri mempunyai karakteristik punya sifat iri hati dan mementingkan diri, suka berdusta dan bertentangan dengan kebenaran serta suka memegahkan diri. Pada ayat 17-18, Yakobus menjabarkan karakteristik hikmat dari firman kelemahlembutan, yakni memiliki kemurnian, pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan memiliki buah yang baik, tidak memihak dan munafik. Hikmat ini berasal dari kebenaran Allah yang disampaikan dengan damai dan demi tujuan damai itu sendiri.

Sebagai perenungan dari bagian perikop ini, nasihat Yakobus membawa kita pada perenungan, hikmat apa yang kita pergunakan di dalam perjalanan keseharian hidup kita? Nilai-nilai dan standart moral yang berlaku umum, sesungguhnya sudah membantu kita untuk membedakan hal yang baik dan jahat. Akan tetapi, di dalam iman kepercayaan kita, standar kita bukan sekedar baik dan tidak berlaku jahat, melainkan hidup di dalam kebenaran Allah, artinya menghidupi setiap firman Tuhan dan mengikuti teladan Kristus, sebagai jalan kebenaran dan hidup (Yoh. 14:6). Di dalam kehidupan kita, yang perlu kita waspadai, bahwa kita sering memberikan standar ganda, artinya memberlakukan sesuatu kasus yang sama, tetapi beda perlakuan, kepada orang yang berbeda pula.

Hikmat kelembutan sesungguhnya, sudah kita miliki dan tertanam, sejak kita memiliki iman di dalam Kristus, yang memaksa dan mengikat kita, bahwa standar kehidupan yang kita pakai adalah Kristus. Akan tetapi, pengetahuan dan pengenalan kita akan Kristus, justru kita atur sedemikian rupa untuk sebuah pengetahuan belaka dan tidak mengaktivasinya menjadi sebuah gaya hidup. Kemungkinan yang lain, adalah kita membedakan penggunaan itu pada waktu dan tempat tertentu saja, misalnya pada saat kita beribadah, pada saat persekutuan atau pada saat kita berkumpul dengan saudara seiman. Berbeda halnya ketika kita bekerja, di dalam lingkungan pertemanan, ataupun komunitas hobi, pengetahuan dan pengenalan akan Kristus, mengenai hal yang benar justru kita kesampingkan.

Mari, kita merenungkan hal ini, supaya hikmat yang tertanam melalui iman kita kepada Kristus, justru memberikan kita sebuah gaya hidup yang baru, yang mengutamakan kebenaran Allah, di atas segala kepentingan dan tawaran yang mempesona kita, untuk mengesampingkan kebenaran Allah itu sendiri. Kebenaran Allah akan menolong kita untuk tidak bermegah akan diri, melainkan bermegah kepada pertolongan Allah. Di saat kita bermegah kepada Allah, kebenaran ini akan memampukan kita berjalan dengan sebuah pengharapan akan kecukupan di dalam Kristus.

Sdr. Asidoro Sabar Parsaulian Pasaribu
21 Desember 2021