1 SAMUEL 9
Tema ini tidak bisa dilepaskan dari pemahaman terikat dengan 1 Samuel 1-12 untuk memahami sifat kerajaan theokratis yang dimaksudkan oleh penulis kitab Samuel. Penulis sejarah ini merasakan suatu kegalauan dimana bangsa pilihan Tuhan menolak Tuhan itu sendiri (1 Samuel 8) sebagai raja yang pertama dan utama dalam kehidupan mereka, hanya karena tergoda dengan sistem organisasi kepemimpinan Kanaan dan karena gagalnya Samuel melakukan regenerasi yang baik di Israel, anaknya yang diangkatnya tidak hidup sebagaimana integritas ayahnya (I Sam 8: 1-3).
Samuel asyik mengorganisir kehidupan rohani dan politik umat tetapi ia tidak serius memperhatikan keluarganya sebagaimana seniornya Elia yg gagal mendidik Hofni dan Pinehas. Sampai suatu saat tua-tua Israel demonstrasi di depan altar Rama memberikan ketegasan menolak anaknya dan menolak Tuhan sebagai raja. Samuel dengan “legowo” menerima kritik pedes rakyat setelah dikonfirmasi oleh Tuhan bahwa DIA “mengijinkan” pemerintahan raja di tangan manusia.
Di dalam rasa kesal dan rintihan doa Samuel, Tuhan pun menyadari kalau diriNya tak diminati sebagai RAJA atas mereka karena mereka lebih cinta kepada allah-allah lain. Kemanakah hati nurani rohani umatNya? Untuk sementara terseret oleh setan-setan Kanaan. Hari ini juga (2021) barangkali banyak umatNya yang merindukan allah-allah lain di dalam kehidupan mereka. Barangkali manusia sekarang ini sudah sangat bosan dipimpin oleh Tuhan.
Di dalam rasa kebosanan umatNya kepada Penciptanya sendiri, Tuhan pun menetapkan supaya bangsa Israel memiliki raja. Dan Samuel menunggu kehendak Tuhan untuk menetapkan raja bagi Israel. Diakhir pasal 8, Tuhan menerima usul adanya seorang raja dan Samuel menenangkan hati mereka dengan ajakan pulang ke kotanya masing-masing. Dan Samuel terus melakukan persembahan korban dan menunggu konfirmasi dan affirmasi Saul sebagai raja yang diurapi. Karena sudah diberitahukan akan datang raja Israel (15-17), maka Samuel tidak perlu repot-repot mencari, tetapi justru Saul-lah yang mencari dan menemukan Samuel dengan latar cerita untuk mencari keledai yang hilang.
Pada pasal 9, permainan kata disebutkan oleh editor untuk menunjukkan suatu kegalauan emosi bangsa Israel dengan kisah Kisy kehilangan keledai betina. Ironi seorang ayah seperti Kisy yang kebingungan karena kehilangan keledai, tetapi tidak ada rasa penyesalan yang besar dimana seluruh Israel telah menolak Tuhan menjadi Raja atas mereka (8:4-9). Kisy (Israel) lebih menangisi keledainya yang hilang, daripada seperti Samuel yang bersedih tatkala Tuhan kehilangan tahta di Israel. Bagi seorang Israel, keledai amat penting dan utama. Kehilangan keledai bagaikan Israel kehilangan induk pengasuh, kehilangan pemelihara, kehilangan sumber kehidupan. TETAPI MEREKA TIDAK ADA YANG BERKORBAN UNTUK MENEMUKAN TUHAN DI DALAM HIDUP MEREKA. KELEDAI LEBIH BERHARGA UNTUK DITEMUKAN DARIPADA TUHAN. Dan ironisnya Saul diminta untuk menemukannya, dimana ia sendirilah yang sedang ditunggu-tunggu oleh Samuel sebagai pemimpin Israel. Penulis mengubah situasi kehilangan itu kepada suatu penantian raja dihadapan korban Samuel di kota Rama. DARI KELEDAI KE NABI (TUHAN). Tuhan mengubah rencana Saul, mencari keledai sampai menemukan urapan Tuhan.
Ev. Tonny Mulia Hutabarat
29 Desember 2021