LD Tonny Mulia Hutabarat
Jumat, 10 Mei 2024
JANGAN ADA SKANDAL … Titus 1:6
yakni orang-orang yang tak bercacat, yang mempunyai hanya satu isteri, yang anak-anaknya hidup beriman dan tidak dapat dituduh karena hidup tidak senonoh atau hidup tidak tertib. (Titus 1:6 ITB)
Subunit Titus 1:6 menyebutkan kriteria anak pejabat gereja: ”hidup beriman dan tidak senonoh”. Pertanda penatua dapat mengurus gereja, ia dapat mengurus kerohanian anak-anaknya dan isterinya. Paulus menginginkan agar dilakukan pengecekan kehidupan rohani keluarga, sebelum ia dilantik menjadi pengurus/pejabat gereja.
Keberatan Paulus dalam latar perikope ini adalah telah berkembang pengajar sesat, liar dan tidak tertib secara moral etika umum. Guru-guru palsu tidak hidup dalam standar umum. Mereka merusak tatanan masyarakat. Maka Paulus menganjurkan agar anak-anak penatua tidak hidup seperti guru2 palsu.
Ketika seseorang dipertimbangkan untuk menduduki jabatan di gereja, rumah adalah titik rujukan yang wajar. Kehidupan rumah tangga seorang pria adalah salah satu kriteria yang dapat diukur dan diamati. Rumah adalah tempat ujian karena gereja akan dapat melihat bagaimana dia menangani keluarganya, bagaimana dia akan mengelola gereja. Jika dia tidak menunjukkan kepedulian terhadap keluarganya, bagaimana dia bisa menunjukkan kepedulian dan kepemimpinan terhadap kawanan domba Tuhan.
Potensi kepemimpinan seseorang di gereja akan terlihat dari cara dia memimpin anak-anaknya. Anak-anak di bawah kekuasaannya. Seorang pria harus memerintah anak-anaknya dengan bermartabat dan serius. Perilaku ayah terhadap anak-anaknya akan terlihat oleh semua orang di gereja.
Anak-anak yang berada di bawah asuhan ayah tidak boleh berperilaku tidak senonoh. Paulus menggunakan kata kuat kedua, ‘ketidakteraturan’ (anupotakta) berarti liar. Anak-anak selama berada di rumah (dalam pengawasan ayah), hidup dengan cara yang tidak mencemarkan ayah mereka. John Calvin mengartikan “anak-anaknya hidup beriman” yaitu bahwa seorang penatua harus mempunyai anak yang percaya kepada Kristus, beragama Kristen. Hendriksen menyatakan: “seorang laki-laki yang anak-anaknya masih kafir atau berkelakuan kafir tidak boleh diangkat menjadi penatua”.
Tuhan melaksanakan perjanjian-Nya, tidak hanya melalui pemeliharaan rumah tangga, namun juga melalui disiplin gereja. Semua anggota, baik yang sudah dibaptis maupun yang mengaku, tunduk pada disiplin gereja karena janji perjanjian, dilaksanakan secara sementara dalam kehidupan para anggota gereja. Para penatua, dalam memenuhi fungsinya mengikat dan melepaskan ( Matius 16:19 ).
Disiplin Gereja, dalam pelayanan terhadap perjanjian, adalah bagian dari janji yang diterima orang tua ketika anak-anak mereka dibaptis. Bagi orang yang anak-anaknya saat ini tidak setia (dalam arti pistos ), disiplin gereja merupakan sebuah penghiburan. Tuhan mungkin memberikan buah pertobatan saat disiplin diterapkan.
Orang tua yang saleh melihat anak-anak yang tidak saleh muncul di rumah mereka (lih. Yhe 18:1-20). Tuhan sendiri membangkitkan anak-anak yang memberontak melawan-Nya (Yesaya 1;2) namun DIA setia pada janji-Nya. Perjanjian dan janjiNya kepada orang tua tetap berlaku. Karena TUHAN adalah pengelola perjanjian yang berdaulat, maka waktu bukanlah hal yang penting dalam pelaksanaan perjanjian. Seorang anak yang hilang dapat kembali ke rumah dalam keadaan bertobat sementara anak yang hilang lainnya dapat terus tinggal di rumah tersebut dan menerima panggilan ayahnya untuk bertobat dengan dingin (Lukas 15:11). Kita tidak mengetahui rahasia rencana TUHAN untuk mewujudkan janji-janji perjanjian-Nya, namun kita bertindak dengan iman berdasarkan firman-Nya bahwa Dia akan mendatangkan berkat dalam perjanjian tersebut.
Kita hidup di zaman ketika ada penyembahan berhala yang tidak kentara dalam keluarga yang cenderung memandang orang tua dan anak-anak sebagai sesuatu yang diabstraksi dari komunitas perjanjian yang lebih besar. Kita mengasihi anak-anak dan tentunya ingin mereka mengasihi Kristus agar mereka mempunyai kehidupan. Namun, kita harus percaya dan menyembah Tuhan saja, bukan pada teknik mengasuh anak, sekolah di rumah, atau bagaimana kita berencana untuk ‘membuat mereka percaya’. “Membesarkan anak dengan benar” tidak menjamin keselamatan. Memercayai hal ini berarti mempunyai pandangan tentang kasih karunia yang mendekati pandangan ex opere operato gereja Roma. Hal ini kehilangan fokus alkitabiah pada kasih karunia dan memungkinkan adanya perbuatan. Kasih karunia perjanjian tidak bersifat otomatis, ia hidup dan dinamis, karena ia berasal dari TUHAN yang hidup yang menggenapi firman-Nya dalam waktu dan dalam kehidupan mereka yang telah dipanggil-Nya. Harapan kita terhadap anak-anak, bahkan jika itu adalah harapan yang saleh, bisa jadi merupakan penyembahan berhala karena kita menginginkan hasil yang kita inginkan daripada Tuhan sendiri. Perjanjian ini bukan tentang kita mendapatkan apa yang kita inginkan atau hasratkan tetapi tentang Tuhan yang menggenapi firman-Nya demi kemuliaan-Nya.