LD Tonny Mulia Hutabarat
Minggu, 19 November 2023
DURI DALAM DAGING — 2 Korintus 12:1-10
Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat — (2Co 12:8-10 ITB)
Kata “duri” dalam Yunani “skolops” berarti suatu benda sebesar tiang yang dapat ditusukkan pada tiang tersebut. Duri masuk ke dalam Paulus sekitar empat belas tahun sebelumnya- rasa sakit berkepanjangan dan gangguan besar (ay 8-10). Tapi apa durinya? Paulus tidak menyebutkan “duri” penderitaannya tetapi mengungkapkan alasan duri tersebut masuk dalam hidupnya yaitu kerendahan hati, tidak menjadi sombong.
Paulus diam-diam akan menjadi sombong atas pengalaman surgawinya yang tak terlukiskan (ay 1-6). Dan siapa yang tidak akan memecahkan gelembung itu tanpa duri? Duri diberikan untuk “mengganggu” Paulus – yang tentunya merupakan pekerjaan Iblis. Namun dibalik keinginan untuk melecehkan ini ada maksud untuk merendahkan Paulus. Tujuan Setan terletak di dalam tujuan Tuhan. Dalam perpaduan misterius antara kedaulatan ilahi dan kejahatan, bahkan aktivitas setan pun termasuk dalam lingkup tujuan kedaulatan TUHAN.
Paulus memohon kepada Tuhan sampai kelelahan (tiga kali simbol permintaan yang lengkap, komprehensif) agar duri dihilangkan. Tetapi tidak ada jawaban dari TUHAN. TIDAK!
“Kasih karunia” dalam ayat ini digunakan secara lebih luas sebagai tanda kehadiran TUHAN —menopang, memberdayakan, menenangkan, mendukung, menghibur, menguatkan, memuaskan. Kasih karunia diperjelas dengan kalimat “sebab dalam kelemahan kuasa-Ku menjadi sempurna.” RahmatNya yang menyalurkan kuasa ilahi. Kekuatan Tuhan ditonjolkan dalam kelemahan. Di dalam kelemahan rahmat Tuhan menyala. Surga bersinggungan dalam kelemahan. Di sana Tuhan berdiam. Pilih mana sembuh tanpa TUHAN atau “sakit” bersama TUHAN.
Paulus menggunakan bahasa kuno tentang kuasa Tuhan yang ada padanya. Kata kerja untuk “turun menaungi” (Yunani episkēnoō ) dibangun di atas akar kata untuk tabernakel, yaitu bangunan bait suci yang di dalamnya hanya hadirat Tuhan yang berdiam. Mereka yang ada dalam hadirat TUHAN akan aman dan tenang.
Maka rahasia kuasa Kristus yang berdiam di atasnya membuat dia bermegah (berkemenangan) atas kelemahan-kelemahannya (kesulitan), entah itu: (1) semua ketidakmampuan manusia yang jatuh dalam dosa. (2) penghinaan, penganiayaan oleh orang lain, baik dengan kata-kata atau tindakan (3) kesukaran, pengalaman yang menekan sampai batas yang tidak nyaman (4) penderitaan di tangan musuh (5) bencana, keadaan yang menghancurkan, (6) penyakit yang tak kunjung reda.
Dalam keadaan lemah dan berada di dalam TUHAN maka ia “puas” dan “bersukacita” karena ia dipeluk oleh BAPA, ANAK dan ROH KUDUS. Ia dapat tabah demi Kristus. Paulus senang dengan kelemahan karena kelemahan itu membukakan dia terhadap berkat dan kekuatan surga.
Jadi, kesimpulannya keadaan lemah yang terus-menerus, dan dengan demikian keadaan menerima kekuatan ilahi yang terus-menerus. Paulus kini melihat bahwa kelemahannya bukanlah suatu penghalang melainkan pintu gerbang menuju kekuatan TUHAN.
Ketidakmampuan, kelemahan, dan kegagalan terasa berbahaya. Namun hal-hal tersebut merupakan tempat yang aman, menciptakan kerendahan hati. Lebih dari itu, kelemahan kita yang rendah secara fisik, psikologis, intelektual, pendidikan, dan bahkan spiritual justru merupakan katalis bagi kuasa ilahi.
Kekuatan untuk apa? Untuk ketenangan, untuk pertumbuhan, untuk kegembiraan, untuk persekutuan dengan Tuhan, untuk pengurapan penginjilan. Singkatnya, untuk kesuburan dalam kehidupan Kristen. Yesus sendiri mengajarkan, “Jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh 12:24).
Ketika kehidupan berada dalam kehancuran, ketika kaki kita tersapu oleh kejutan-kejutan hidup yang membingungkan, kita tidak menyerah. Kita kembali lagi kepada Tuhan. Momen ledakan kehidupan, dibawa kepada Kristus, adalah saat di mana kita pada akhirnya akan mendapatkan daya tarik dan kuasa dalam kehidupan Kristen kita. Penderitaan kita adalah tempat tinggal Tuhan sendiri.
Apakah kita lebih memilih pengalaman puncak gunung tanpa Tuhan atau pengalaman lembah bersama-Nya?