Renungan 4 Februari 2021

Keluaran 20 : 17

17  Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamamu.”

The last but not the least, nampaknya ungkapan yang cocok dikenakan bagi keberadaan perintah “jangan mengingini” yang ditempatkan pada urutan ke-10.  Karena memang tidak selalu apa yang ditempatkan di tempat yang paling belakang merupakan hal yang tidak penting atau bahkan paling tidak penting.  Memang jika dibandingkan secara sekilas saja, maka nampaknya perintah ini kurang memiliki bobot keseriusan dibandingkan dengan perintah jangan membunuh, jangan berzinah dan jangan mencuri, juga dengan perintah jangan mengucapkan saksi dusta masih terlihat lebih ringan karena berbicara mengenai keinginan yang ada di dalam hati belum menjadi ucapan atau bahkan sebuah tindakan yang merusak.

Namun demikian perintah ini sungguh penting, sama penting bahkan dapat dikatakan setiap perintah sebelumnya terkait erat dengan keinginan-keinginan manusia, sehingga secara tidak langsung maka perintah ke 10 ini pun berkaitan erat dengan perintah-perintah sebelumnya.  Dalam bahasa Ibrani, kata “jangan” dapat menggunakan kata “Ló” (yang digunakan utk menggambarkan larangan seterusnya/permanen) dan kata “Al” (digunakan untuk hal-hal yang bersifat sementara/tergantung situasi dan kondisi; contoh : jangan makan sekarang, tapi nanti boleh makan).  Pada setiap perintah yang menggunakan kata “jangan” dalam 10 perintah Allah ini (termasuk perintah ke 10), selalu menggunakan kata “Ló”, hal ini berarti perintah ini sungguh serius, penting dan bersifat permanen.  Jika demikian, apakah kita manusia ini sama sekali tidak boleh punya keinginan?  Tentu bukan demikian maksud dari TUHAN, namun justru manusia diingatkan bahwa, sangat serius bagi kita untuk mempunyai keinginan yang tidak berlawanan dengan kehendak Allah.

Keinginan merupakan hal yang ada di dalam hati setiap manusia, dengan demikian perintah ke 10 ini sekaligus menunjukkan kepada kita bahwa Allah tidak hanya menuntut kekudusan umat-Nya dalam hal perbuatan dan juga perkataan, namun lebih dalam lagi yaitu kekudusan hati kita.  Dalam Roma 7 : 7, rasul Paulus disadarkan bahwa di dalam diri kita terdapat keinginan-keinginan yang melawan kehendak Allah, karena sesungguhnya kita (mengandalkan diri kita sendiri) tidak mampu lagi untuk mengingini sesuatu yang baik yang seturut dengan kehendah Allah.  Jauh sebelum hukum Taurat diberikan, Adam telah menginginkan hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendak Allah yaitu ingin menjadi seperti Allah (berotoritas atas diri sendiri) dengan melanggar perintah yang telah Allah berikan, sehingga seluruh umat manusia seringkali dikuasai segala keinginan-keinginan yang ujung-ujungnya membawa kita ke dalam dosa.  Dan ketika hukum Taurat diberikan, maka semakin nyatalah keberadaan kita akan keberdosaan kita dan segala keinginan hati kita yang mendasari seluruh perkataan dan perbuatan kita.  Hal ini juga diteguhkan oleh firman TUHAN dalam Yakobus 1 : 14- 15; bahwa manusia diseret dan dipikat oleh karena keinginannya sendiri.

Berbagai macam keinginan dosa yang menghasilkan pelanggaran terhadap 10 perintah Allah seperti memberhalakan sesuatu serta sujud pada sesuatu yang bukan Allah, melanggar kekudusan Nama dan Sabat Tuhan, tidak menghormati orang tua, membunuh, berzinah, mencuri, dusta dan keinginan yang jahat, merupakan gambaran-gambaran dosa-dosa manusia secara umum yang dilakukan sehari-hari dalam aneka bentuk dan cara yang berbeda; hal-hal ini dapat digolongkan paling tidak ke dalam 3 hal : keinginan daging, keinginan mata dan keangkuhan hidup.  Hal-hal praktis yang dapat kita lakukan adalah harus lebih waspada pada segala keinginan yang muncul dalam hati kita, apakah sesuai dengan kehendak TUHAN atau tidak.  Selain kewaspadaan dan perjuangan hidup kudus, kita juga harus sadar bahwa kita tidak dapat mengandalkan kekuatan diri sendiri, karena sesungguhnya kekudusan adalah karunia dari TUHAN, sehingga kita harus menyertakan TUHAN dan mengandalkan TUHAN dalam perjuangan kita.

Menyertakan TUHAN, berarti pertama-tama harus mengalami karya Tuhan Yesus Kristus dan mengutamakan Dia di atas segalanya.  Galatia 2 : 20 mengingatkan kita bahwa hidup kita bukannya kita lagi, namun Kristus yang hidup di dalam kita.  Bagaimanakah dengan kita?  Adakah Kristus sungguh hidup dalam kita?  Jika Dia hidup di dalam kita, maka segala apa yang menjadi keinginan-Nya harus kita utamakan.  Hal ini selaras dengan apa yang telah diteladankan oleh-Nya ketika menjalani kehidupan sebagai manusia biasa, Dia telah mengutamakan kehendak Bapa-Nya di atas segala kehendak-Nya sendiri (contoh : di taman Getzemani, “kiranya cawan ini berlalu daripada-Ku, namun bukan kehendak-Ku melainkan kehendak-Mu lah”).  Menghadirkan Kristus dalam hidup kita berarti hidup bagi Dia dan mengutamakan segala keinginan-Nya di atas segala keinginan kita.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam keseharian kita untuk berjuang mengutamakan Dia dan kehendak-Nya bukanlah hal yang mudah.  Tantangan demi tantangan bisa saja muncul sewaktu-waktu bersamaan dengan pergumulan dan permasalahan yang terjadi dalam keseharian kita.  Bahkan tak jarang pula kita menjadi sedemikian terhimpit dan putus asa, penuh kekuatiran dalam hidup kita.  Namun marilah kita percaya, bahwa dalam perjuangan untuk hidup bagi Dia, kita tidak sendiri, namun TUHAN senantiasa menyertai kita dan menolong kita, sebagaimana kata pemazmur : ”YHWH ‘li, ló ira, mah yah a’seh li, adam” ; TUHAN ada di pihakku, aku tidak akan pernah takut, apakah yang manusia dapat lakukan terhadap aku.

Dengan demikian, kita harus senantiasa percaya bahwa Allah selalu setia melakukan bagian-Nya untuk menjagai kita, dan kita sepatutnya berjuang sedemikian rupa menjaga kesetiaan kita kepada-Nya, mampu menjalani kehidupan dengan penuh rasa cukup dan syukur, serta hidup bagi-Nya mewujudkan keinginan-Nya di atas segala keinginan kita.  Amin.

Ev. Franky Oktavianus Nugroho
4 Februari 2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *