Eksposisi Yakobus 4:1-10

Persahabatan adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh setiap pribadi. Manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan orang lain, karena keberadaannya sebagai makhluk sosial. Manusia butuh bersosialisasi. Akan tetapi, bagaimana halnya kalau persahabatan atau sebuah relasi itu, ternyata bicara tentang “relasi keinginan” antara masing-masing pribadi dengan “tawaran keinginan dunia,” yang justru terlihat seperti memberikan sebuah kesenangan dan kenyamanan, tetapi justru membawa kepada kebinasaan. Keinginan itu meliputi kebutuhan dan kepentingan manusia baik secara umum dan khusus. Hal ini dikarenakan, sebuah keinginan dan kepentingan akan mempengaruhi tujuan hidup mula-mula seseorang, untuk menghadirkan sebuah shalom digantikan dengan kehidupan fana.

Pada bagian perikop ini, merupakan surat panggilan Yakobus yang memberikan perintah (a summon letters) kepada 12 suku di perantauan, untuk memenuhi panggilan spiritualitas masing-masing individu. Bahwa setiap individu harus selalu terkoneksi kepada Allah. Yakobus menguraikan terlebih dahulu, satu kondisi natur manusia yang berdosa akan mempunyai kecenderungan bertentangan dengan Allah, dan hal inilah yang akan selalu ditawarkan oleh dunia, untuk selalu berada di luar Allah (ay.1-3). Oleh karena itu, Yakobus menegaskan pada ayat 4-6, untuk tidak bersahabat dengan dunia, dengan tidak mengafirmasi seluruhnya apa yang dunia tawarkan, karena sudah pasti akan mengaktivasi kecenderungan hidup manusia di dalam dosa (band. Rm. 12:2). Karena dunia akan menawarkan segala kebutuhan dan kepentingan di luar rancangan yang telah Allah tetapkan bagi manusia.

Yakobus pada bagian terakhir memberikan perintah pada ayat 7-10, dengan mengarahkan diri serta terpaut kepada Allah, melalui hikmat kelembutan (pasal 1:21, yakni berbicara tentang firman Allah yang tertanam di dalam diri setiap pribadi). Dengan diri yang terpaut kepada Allah, akan berakibat seseorang akan berhasil menguasai nafsunya,berupa keinginan dan kebutuhan yang tidak selaras dengan kehendak dan rancangan Allah. Kalimat perintah yang penting, yang difokuskan Yakobus, yakni pada ada ayat 7, melalui sebuah perubahan kondisi kehidupan dulu ketika masih hidup di dalam kegelapan dan sekarang sudah hidup dalam terang. kalimat perintah yang dipakai dalam bahasa Yunani, yaitu “hupotagete” (menandakan tempo dulu, bersifat pasif, artinya menundukkan diri) beralih kepada “antisete” (menandakan tempo dulu, bersifat aktif, artinya lawan, hadapi dan bertekun dengan apa yang dipercayai atau diimani). Artinya, seseorang harus menundukkan diri pada Allah, sehingga seseorang akan bertekun dengan iman itu untuk menghadapi dunia dan godaan iblis yang coba memengaruhi dan menipu seseorang untuk hidup di luar Allah.

Yakobus memberikan formula untuk menundukkan diri kepada Allah, dengan menggambarkannya melalui kata kerja dari ayat 8-10. Menundukkan diri kepada Allah dengan cara mendekat, menahirkan diri, mensucikan diri, menyesali keberdosaan diri (LAI menterjemahkan sadarilah kemalangan diri) dengan meratap (mourn) dan menangis (weep) serta merendahkan diri di hadapan Tuhan, karena Ia yang akan meninggikan kita. Seluruh kata kerja yang dipakai, adalah kondisi kerentanan manusia di dalam natur berdosanya, sehingga rentan untuk memuaskan nafsunya dan mengafirmasi seluruh tawaran dunia.

Lalu, apa sesungguhnya yang kita bisa renungkan melalui bagian perikop ini. Yakobus sudah dengan jelas memberikan peringatan dan gambaran, bahwa manusia akan terus menerima tawaran dari dunia untuk hidup di luar kehendak Allah. Dunia akan menawarkan bagaimana kita akan memuaskan nafsu kita dan terus hidup yang berorientasi kepada diri sendiri. Padahal, kita anak-anak Tuhan seharusnya hidup untuk menggenapi apa yang telah Allah rancangkan di dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, kita harus mengenali “blind Spot” kita, yakni titik terlemah kita, yang membuat kita rentan dan rapuh untuk selalu jatuh, untuk hidup selalu berada di dalam lingkaran dosa dan keinginan daging. Oleh karena itu, “blind spot” adalah sebuah titik yang tidak bisa kita lihat dan jangkau, kita butuh komunitas iman, untuk menegur dan memperingatkan kita serta mendoakan kita, supaya kita bisa mengekang nafsu dan mengendalikan diri tidak bersahabat dengan dunia. Supaya kita bisa berjalan di dalam rancangan dan kehendak Allah.

Tundukkanlah diri kita pada kebenaran Allah melalui firman-Nya dan teladan Yesus Kristus, karena dengan itu akan memberikan kita hikmat untuk menguji dan selalu mengevaluasi diri kita, supaya tidak mengafirmasi keinginan daging semata melainkan hidup dalam roh dan kebenaran.

Sdr. Asidoro Sabar Parsaulian Pasaribu
23 Desember 2021