1 Samuel 8
Di dalam misteri keadaulatan Tuhan, di dalam kebijaksanaannya yang tak terpahami Ia telah menyerahkan kepemimpinan umatNya kepada pemerintahan seorang raja yang berpola kepada “kekhafiran”. Di dalam sejarah keselamatanNya melalui umatNya sendiri dihadirkan pola pikir manusia yang menolak Tuhan dan seluruh akibatnya. Suatu hidangan theologis yang akan dipilih manusia: kedaulatan Theokrasi yang mutlak atau kehendak antrokrasi relatif.
Mengapa Tuhan menyerahkan pemerintahanNya di dalam dunia kepada manusia padahal Ia adalah Penguasa Mutlak atas segala sesuatu? Adakah yang kurang pas dengan diriNya sehingga sehingga Dia sebagai Tuan “disingkirkan” dari kancah “politik” Israel? Apakah strategi kepemimpinanNya tidak cocok di hati manusia sehingga “seenaknya” anak-anak manusia “melengserkanNya”? Apakah peralihan tampuk kepemimpinanNya sebagai suatu cara mendidik dan membiarkan mereka hidup tanpa kendaliNya? Saya yakin di dalam KemahabijaksanaanNya ada maksud tertentu yang disampaikanNya kepada umatNya dalam konteks 1 Samuel pasal delapan ini dan juga kepada kita yang hidup pada masa sekarang.
Mari kita perhatikan observasi teks tentang peralihan Tongkat Komando Sorga kepada raja manusia di konteks pasal 8:
- Samuel tanpa konsultasi dengan Tuhan mengangkat kedua anaknya menjadi penggantinya (ay 1-3). Masa tua telah menggoyahkan konsentrasi Samuel terhadap sensitivitas imannya terhadap regenerasi imam, nabi dan hakim. Ia tidak bertanya, berdoa, berbicara kepada Tuhan. Dan tanpa peneguhan dan penahbisan serta kesaksikan Tuhan dan umatNya kedua anaknya langsung dilantiknya sendiri. Tampaknya masa tua menjadikan dia semakin egois, mengabaikan kerjasama dengan Tuhan dan sesama. Ia merasa hebat di puncak karirnya sebagai nabi, imam dan hakim sehingga tidak memerlukan TUHAN dalam proses regenerasi tersebut.
Samuel telah mulai menggeser kepemimpinan Tuhan dalam hidupnya di puncak kejayaan pelayanan rohaninya. Suatu keadaan yang sangat tragis. Di awal baik tetapi di akhir riwayat hidupnya buruk. Ciri seperti ini akan terus menerus berulang-ulang di dalam hidup raja-raja selanjut dalam Kitab Samuel, Raja-raja dan Tawarikh. Raja yang baik dan setia sampai akhir hidupnya dalam jumlah yg sangat kecil. Barangkalai juga sampai masa kini (2021 dst …) dimana banyak orang “kristen” tidak menjadikan Tuhan Yesus sebagai Pemimpin Mutlak dalam hidupnya.
Bahkan mata tua Samuel yang mungkin sudah rabun tak melihat perbuatan anak-anaknya yang mengejar keuntungan dari pada kualitas rohani, menerima suap dari pada pergi memuridkan orang-orang seperti ayah mereka. bahkan secara anekdot ironis memutarbalikan keadilan. Tiga sifat buruk ini adalah persis seperti dua anak Eli. Hofni dan Pinehas disebut anak-anak Belial (sebutan lain Iblis dlm PL) dengan kesamaan predikat buruk Yoel dan Abia. Jadi keempat anak-anak imam ini terjerat dalam pekerjaan Setan. Iblis lah yang memerintah di dalam hati yang loba, korup dan penindas kebenaran.
Empat contoh anak imam ini sudah cukup sebagai wakil untuk menyatakan bahwa anak-anak manusia sebenarnya sudah menyingkirkan THEOKRASI menjadi ANTROKRASI.
Dua contoh imam diakhir hidup yang buruk sudah cukup mewakili umat yang mengabaikan pimpinan TUHAN dalam hidup kita. Katanya kristen sering kepersekutuan tetapi tidak mengandalkan Tuhan di dalam hidupnya.
Orang-orang yang aktif di lingkungan rohani memang bisa menjadi teladan tetapi juga harus diwaspadai bahwa mereka tidak boleh dijadikan teladan mutlak sebab sewaktu-waktu mereka bisa jatuh dlm dosa dan mempunyai reputasi buruk. Maka pelajaran di pasal 8 ini bahwa hanya Tuhan yang layak dijadikan teladan dan tempat kita menggelantungkan iman.
Satu titik waktu gegabahnya hamba Tuhan (Samuel) yang kesohor itu. Samuel memaksakan anak-anaknya menjadi hakim tanpa integritas, tanpa moral, tanpa kerohanian (mengulang masa hidup Eli). Apa penyebabnya? Apakah kesibukan pelayanan sehingga pendidikan terhadap anak-anak terabaikan. Ironisnya Samuel yang rohani, memaksakan kehendaknya dalam hal menguasai jabatan/ kursi politik dikuasai oleh “dinasti” keluarga, anak-anaknya. Mereka hanya pemain bayaran, materialitis, hidup tanpa keadilan/kebenaran, tidak jujur, malas. Samuel tanpa pertimbangan moral. Diakhir hidupnya kompromi dengan dosa. Banyak orang tua yg “super” sibuk dalam pelayanan tetapi lalai mendidik anaknya sendiri untuk hidup di dalam Tuhan. Anak-anak terjerumus dalam “miras”, “drugs”, “pornografi” dll karena “kealpaan” orang tua mengasuh kerohanian generesi penerus keluarganya.
Sebenarnya hakim dipilih bukan berdasarkan keturunan, pemilihannya bersifat karismatik sorgawi. Dipilih secara langsung oleh Tuhan menurut kehendakNya. Namun Samuel mengangkat anaknya mereka menjadi imam tanpa kualifikasi iman. Sangatlah jelas terjadi nepotisme, mementingkan sanak saudara untuk menduduki suatu jabatan tertentu. Samuel melakukan kesalahan yang telah dilakukan oleh Eli. Sebenarnya Samuel dan Eli tahu peraturan untuk memilih seorang hakim namun mereka melanggarnya, dan mereka pun menerima akibatnya.
Pelajaran: Mempersiapkan kerohanian di masa tua agar tidak terjadi kebusukan iman pada generasi penerus.
Suatu saat kita semua akan menua secara alami, tidak ada yang dapat menahan masa muda. Muda dan tua adalah kehendakNya dalam proses mengalami keselamatanNya. Persoalannya, pada masa tua, fisik akan merosot sampai titik minus (pikun dan tak berdaya), namun diharapkan kerohanian tetapi stabil pada posisi melambung tinggi dengan dasar: Tuhan tetap diberikan tempat untuk menggendong kita (Yesaya 46:4). Samuel enggan bertanya kepadaNya di dalam gendonganNya di masa tua. Kemudian, sang sepuh renta selalu mau diperbaharuiNya (2 Kor 4:16). Memperoleh pembaharuanNya dengan tekun menikmati firman setiap hari. Samuel lupa merevarasi dirinya dihadapan Sang Reformator Abadi. Kemungkinan Samuel merasa cukup kaya rohani (mengingat status kenabiannya yang dihormati) tetapi sangat miskin dihadapan Tuhan.
Kita harus belajar dari kesalahan orang lain, belajar dari kekurangan orang lain, agar kita tidak melakukan hal yang sama. Jikalau kelak Tuhan mengizinkan kita melayani tetap perhatikan keluarga, jangan sibuk dengan pelayanan kita tanpa memperhatikan anak-anak kita. Bukan seperti istilah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, iya jikalau tempat tumbuh pohon tersebut datar mungkin buah akan tumbuh dekat dan tidak jauh, namun jika pohon tersebut berada di tanah yang miring, jurang, dan sungai maka akan tumbuh jauh dari pohonnya. Anak seorang yang beriman tidak menjamin anak tersebut baik, namun ia harus menentukan pilihannya sendiri. Ketidakadilan sudah terjadi sejak dahulu, jikalau kita mengerti yang benar namun kita menyembunyikannya, malah kita memutar balikkan kebenaran, lalu apakah yang membedakan kita dengan anak-anak Samuel?
Salam bertheokrasi
Ev. Tonny Mulia Hutabarat
22 Desember 2022