Eksposisi Yakobus 3:1-12
“Mulutmu harimaumu,” adalah sebuah peribahasa yang sering diucapkan dan sudah dikenal sejak lama. Peribahasa ini sebagai penggambaran yang spesifik tentang anggota tubuh kita yang berpotensi menerkam layaknya harimau. Anggota tubuh itu, yakni mulut, yang dapat mengeluarkan berkat, di sisi lain dapat mengutuk. Di dalam penggambaran potensi “menerkam” layaknya kebuasan harimau yang dapat mencabik-cabik mangsanya, Rupanya, mulut dapat memproduksi dan melafalkan kata-kata melalui lidah yang dapat melukai dan membuat seseorang kepahitan bahkan mendendam, oleh karena ucapan kita, seperti mencabik-cabik hati, pikiran dan perasaan seseorang.
Pada bagian perikop ini merupakan penggambaran secara spesifik oleh Yakobus, tentang bagaimana apa yang diucapkan lidah, berpotensi menjadi dosa kalau dibuahi. Seorang teolog sekaligus praktisi Perjanjian Baru Bernama Douglas J. Moo, menyatakan bahwa, pada pasal 3:1 -4:3, dapat dikelompokkan menjadi satu tema tentang kepenuhan dimensi dari komunitas spiritual, secara spesifik tentang kemurnian dari perkataan dan sebuah dimensi damai sejahtera. Artinya, Moo berpendapat bahwa, apa yang diuraikan oleh Yakobus di dalam bagian ini adalah sebuah penggambaran nasihat untuk sebuah kepenuhan komunitas spiritual yang di dalam relasi satu dengan lainnya harus memperhatikan dimensi kemurnian ucapan dan upaya untuk memberikan damai sejahtera. Saya setuju dengan pandangan beliau.
Yakobus menguraikan 12 ayat di dalam pasal ini dengan fokus kepada lidah (Yun:Glossa). Pada ayat 1-5b, Yakobus memberikan penggambaran, posisi dan profesi yang disegani serta diikuti pada waktu itu adalah “didaskalos” (Greek, ay. 1, artinya guru). Posisi ini mempunyai tugas penting yakni memberitahukan pengetahuan. Posisi ini dipakai sebagai contoh konkrit, karena tugasnya berhubungan dengan penggunaan lidah. Pada bagian ini disebutkan juga kata “janganlah” (yun:Me, artinya,jangan, bukan), kata tersebut tidak diartikan sebuah larangan melainkan sebuah kondisi konkrit, bahwa peranan guru adalah vital pada masa itu, yang menggunakan lidahnya untuk mengajar, sekaligus bisa memberikan pengaruh kuat untuk mengajak seseorang. Sehingga di dalam ayat 2-5b, coba dijelaskan tentang suatu kerentanan di dalam penggunaan lidah, yang membutuhkan sebuah “kekang,” untuk mengendalikan lidah layaknya mulut kuda yang dikekang.
Pada bagian berikutnya, ayat 5c-12, Yakobus menguraikan karakteristik lidah dengan metafora, menyoroti karakternya pada ayat 6, lidah sebagai api; ayat 7-8, lidah tidak dapat dijinakkan layaknya binatang buas; ayat 9-10, mendatangkan berkat dan kutuk. Ayat 11-12 dipakai sebagai penjelasan yang menegaskan ayat 9-10, bahwa tidak boleh mengeluarkan atau memproduksi berkat dan kutuk. Artinya, kalau manusia dirancangkan untuk mengerjakan sesuatu yang baik, itu berarti apa yang keluar dari mulutnya, yang kata-katanya dilafalkan oleh lidah itu berarti hanya “berkat”lah yang keluar bukan sebuah “kutuk.”
Sebagai perenungan pada bagian ini, sesungguhnya ketika membahas tentang topik ucapan atau kata-kata yang keluar dari lidah, kita sudah tahu bahwa kita selalu menginginkan orang lain mengucapkan hal yang baik kepada kita, tetapi ketika sebaliknya, kita mengecualikan diri. Semua mengikuti suasana hati, pikiran dan perasaan kita. Kita tidak terpaut dengan kosa kata yang benar, dan sumber yang kekal, yakni firman Tuhan, sehinga apa yang keluar dari mulut kita adalah sesuatu yang kita rasakan, pikirkan dan secara spontan dari sebuah respons akan keadaan.
Kalau kita berorientasi kepada damai sejahtera dan kecukupan akan perkataan yang benar melalui kosa kata yang bersumber dari Alkitab, secara tidak langsung kita akan membiasakan diri, untuk mengekang ucapan kita dan memilih perkataan yang baik dan benar, meskipun kondisi hati kita sedang tidak baik. Semua itu diperoleh dengan sebuah kebiasaan dan disiplin diri, untuk mengucapkan hal-hal yang baik dan berorientasi kepada damai sejahtera, artinya kita memikirkan dampak apa yang terjadi jika kita mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas.
Melalui hikmat Tuhan di dalam firman-Nya yang kita disiplinkan untuk dibaca, akan memberikan kita sebuah pertimbangan untuk berkata dan bersikap. Itulah sebuah kepenuhan komunitas spiritual, yang memperhatikan dimensi kemurnian ucapan dan selalu berorientasi kepada damai sejahtera. Komunitas beriman harus saling mengingatkan dan menjaga perilaku dan perkataannya. Kiranya Tuhan menolong kita.
Asidoro Sabar Parsaulian Pasaribu
16 Desember 2021