Ketegangan Antara Ekspresi Iman Dalam Kasih Karunia dan Melalui Perbuatan

Eksposisi Yakobus 2:14-26

Kehidupan orang Kristen dalam langkah-langkah kehidupannya selalu dilandasi hidup di dalam kasih karunia. Ini berarti memberikan sebuah penegasan, segala sesuatu itu berasal dari Allah, dan apapun yang kita ekspresikan di dalam kehidupan kita adalah dari dan kembali kepada Allah. Kesemuanya itu diekspresikan dalam kebergantungan dan pengharapan sepenuhnya pada Allah, dan untuk hormat dan kemuliaan-Nya. Akan tetapi, dahulu kala, Allah menyatakan diri-Nya melalui sebuah perjanjian kepada bapak leluhur, Abraham, yang menyebabkan hubungan sebab akibat, artinya Allah akan memberikan berkat dan pemeliharaan jika Abraham dan keturunannya taat kepada Allah, dan menyatakan murka-Nya apabila keturunannya menyimpang dari kesetiaan kepada Allah.

Perjanjian terus dinyatakan Allah sebagai wujud kesetiaan-Nya, melalui hukum Taurat dan itu menuntut perbuatan dan tindakan konkrit, di dalam hubungan sebab akibat. Hal ini menjadi sebuah paradoks di dalam iman orang Kristen, apakah fokus kepada kepercayaan sepenuhnya kepada Allah tanpa melakukan sesuatu, atau melakukan sesuatu menjadi penting untuk sebuah ekspresi iman seseorang? Inilah yang selalu dipermasalahkan dan diperdebatkan di dalam iman kekristenan.

Pada bagian perikop ini, Yakobus melanjutkan nasihatnya tentang bagaimana sebuah kepenuhan secara spiritualitas itu dapat terwujud, Hal itu terwujud jika jemaat Tuhan mampu melakukan segala sesuatu itu menurut firman Tuhan. Melakukan firman Tuhan pada bagian perikop ini adalah sebuah ekspresi iman seseorang kepada Allah. Yakobus pada bagian perikop ini mencoba memberikan dua ide besar, pertama bahwa iman yang diekspresikan melalui perbuatan bukan sesuatu yang mendatangkan keselamatan melainkan, suatu kegunaan yang harus dipenuhi sebagai perwujudan akan status seseorang sebagai orang beriman (ay. 14-17).Yang kedua, ekspresi iman di dalam kepercayaan seseorang menginterpretasikan sebuah kasih karunia, harus diwujudkan di dalam suatu perbuatan. Karena, justru karena ada perbuatanlah sebagai ekspresi iman maka akan datang pembenaran dari Allah, dan apabila tidak ada perbuatan, lalu apa yang hendak dibenarkan oleh Allah (ay.18-26)? Karena, di dalam hukum kasih karunia, segala itu berasal dari Allah dan kembali untuk kemuliaan Allah. Kemuliaan Allahlah, yang memberikan kita karunia, bahwa Allah akan membenarkan perbuatan dan tindakan kita, di dalam perkenanan-Nya.

Penegasan Yakobus, di dalam bagian ini, adalah didasari dari kecenderungan manusia yang memisahkan tubuh dan roh, dan itulah yang memberikan sebuah pengetahuan bahwa ekspresi iman melalui tubuh dan roh itu berbeda adanya dan harus dipisahkan. Semua itu disangkal oleh Yakobus, karena jangan lagi ada dikotomi atau pemisahan, sebab hal ini dilandasari pemikiran bahwa semua yang dilakukan oleh tubuh adalah jahat. Perbuatan itu diekspresikan melalui anggota tubuh, dan semua itu adalah jahat. Di sisi lainnya, jika percaya kepada kasih karunia maka roh di dalam pribadi manusialah yang bekerja, dan itu baik karena datang dari Allah. Inilah yang mau coba diluruskan Yakobus, bahwa di dalam ekspresi iman, sebagai seseorang beriman, bahwa harus ada perwujudan berupa perbuatan dan tindakan, yang mendatangkan sebuah pembenaran dari Allah, semua berada di dalam perkenanan-Nya.

Sebagai perenungan untuk kita melalui perikop ini. Di dalam relasi kita kepada sesama, kita pasti selalu berekpektasi ketika berinteraksi dengan orang lain. Artinya, kita menginginkan orang lain itu memberikan sebuah respons tentang keberadaan kita berupa sebuah pengakuan dan ekspresi kasih. Sebuah ekspektasi dalam interaksi serta dinamika di dalam relasi antara satu dengan yang lainnya, inilah yang memberikan kita rasa saling memiliki dan sebuah sikap ketersalingan, bahwa ketika kita ingin diperhatikan maka kita harus memperhatikan, ketika kita ingin dihargai maka kita harus menghargai, ketika kita ingin dicintai maka kita harus mencintai. Demikian pula ketika kita berelasi dengan Allah. Kasih karunia Allah yang terus mengejar kita, di tengah segala kerentanan dan kegagalan kita untuk mengasihi Allah sepenuhnya, seharusnya memberikan kita sebuah pemikiran bahwa kita akan memberikan sesuatu yang menyenangkan Allah melalui perbuatan kita, kepada Allah dan kepada sesama. Hal ini kita lakukan, karena kita telah menerima kasih karunia Allah maka kita harus mengekspresikan iman kepercayaan kita melalui sebuah tindakan konkrit, bukan untuk sebagai prasyarat atau sebuah tujuan mendatangkan keselamatan.

Sebuah pembenaran dari Allah membutuhkan sebuah tindakan nyata, supaya Allah dalam hikmat dan perkenanan-Nya dapat memutuskan. Sebuah keputusan di dalam pertimbangan, apakah tindakan itu layak memperoleh pembenaran, layaknya Abraham, “Allah memperhitungkan hal itu sebagai suatu kebenaran” (Kej. 15.6, sebuah “Imputasi kebenaran”, karena Allah adalah benar dan tak bercela, maka segala kebenaran Allah itulah yang diperhitungkan kepada kita sebagai sebuah kebenaran menurut perkenanan-Nya). Hidupilah iman kita dengan tindakan nyata untuk mengasihi Allah dan sesama.

Asidoro Sabar Parsaulian Pasaribu
14 Desember 2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *