Filemon 1:1-22
Banyak orang hadir mengisi cerita kehidupan kita, pribadi lepas pribadi. Mulai dari anggota keluarga, papa, mama, adik, kakak, kakek dan nenek, sampai kerabat dan teman-teman di lingkungan pekerjaan dan pergaulan kita, serta rekan-rekan yang hadir sebagai teman bertumbuh pada lingkungan gereja. Akan tetapi, pernahkah kita mengucap syukur atas keberadaan mereka? Apakah keberadaan mereka menjadi berkat atau menjadi batu sandungan, karena perbuatan-perbuatan mereka mungkin membuat kita tidak berkenan atau itu menyakiti kita?
Paulus di dalam bagian ini menuliskan sebuah surat pribadi kepada Filemon, yakni dalam relasi rekan yang melayani Allah melalui penggembalaan gereja rumah yang dibuat Filemon (ay.1-2). Paulus mengucap syukur kepada Allah atas iman yang dimiliki Filemon dapat memberikan pengetahuan untuk melakukan hal yang baik dan benar dalam pekerjaan pelayanan kerajaan Allah serta memelihara terus persekutuan di dalam Kristus (ay.4-7). Ucapan syukur dari Paulus datang dari keikhlasan hati dan kerelaannya, karena ia telah mendapatkan kasih dari Allah.
Di dalam surat tersebut, selain mengucap syukur, ternyata Paulus ingin mengutarakan sesuatu yang bersifat pribadi kepada Filemon, yakni meminta Filemon untuk menerima kembali Onesimus, hamba Filemon yang melakukan hal tidak benar kepadanya, yang mungkin dinilai tidak berguna oleh Filemon karena perbuatannya itu (ay.11). Paulus meminta kepada Filemon dengan tidak memanfaatkan otoritasnya sebagai rasul maupun sebagai orang yang dituakan dalam pelayanan, melainkan sebagai saudara seiman yang sama-sama telah menerima kasih Kristus (ay. 8-16). Penerimaan kepada Onesimus bukan lagi sebagai hamba melainkan sebagai saudara dalam persekutuan tubuh Kristus. Bahkan Paulus rela menjamin Onesimus, kalau-kalau dia melakukan kesalahan lagi dan merugikan Filemon di kemudian hari, dan apabila Filemon ingin meminta kerugian yang disebabkan oleh Onesimus, Paulus siap menanggungnya (ay.117-19). Permintaan untuk penerimaan kembali Onesimus ini layak untuk dinantikan dan dilakukan, layaknya menantikan kedatangan Paulus yang sewaktu-waktu ketika ada kesempatan ,dapat mengunjungi Filemon sebagai saudara yang dikasihinya (ay.20-22).
Sebagai perenungan untuk kita, ketika orang lain hadir di dalam kehidupan kita, kita pasti mempunyai ekspektasi dan harapan yang besar akan arti kehadiran pribadi lepas pribadi di dalam kehidupan kita. Seringkali, ekspektasi itu meleset dan kita menjadi tidak berkenan dengan pikiran, perkataan atau bahkan perbuatannya yang secara langsung atau tidak langsung menyakiti hati kita. Semua hadir, karena sebuah ekspektasi akan kehadiran pribadi lain, yang harusnya nirkesalahan, atau tidak melakukan sesuatu yang salah bahkan fatal di dalam relasi kita satu dengan yang lain. Akan tetapi, pernahkah kita memikirkan, bahwa seseorang akan didapati nirkesalahan? Segala kecenderungan kita sebagai manusia berdosa, adalah sebuah pilihan dan tindakan yang mungkin salah bukan? Sehingga, di dalam kondisi seperti itu seharusnya kita bisa memahami dan memberikan kesempatan serta ruang untuk sebuah kesalahan, untuk sebuah proses belajar dari kesalahan pilihan tindakan atau perkataan kita?
Kecenderungan kita, ketika seseorang bersalah, kita akan membuat sebuah stigma dan label bagi seseorang, seperti layaknya sebuah peribahasa “sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tak percaya,” atau “1000 kebaikan akan sirna karna 1 kesalahan.” Kita dengan mudah menghakimi orang yang bersalah tidak dapat untuk berubah? Lalu, di manakah kasih persekutuan di dalam Kristus bisa kita nyatakan? Apakah tidak ada ruang untuk sebuah penerimaan kembali, sehingga kita bisa terus mengucap syukur atas kehadiran orang lain di dalam kehidupan kita?
Kita berjalan dalam proses transformasi hidup, menuju keserupaan dengan Kristus, dan itu harus melewati sebuah proses jatuh bangun.
Oleh karena itu, kita harus selalu mengucap syukur atas keberadaan orang lain, sehingga kita bisa menerima kembali seseorang yang bersalah kepada kita, karena kita telah menerima kasih dari Allah, dan di dalam persekutuan saudara seimanlah, kita dapat menyatakan kasih itu, yang menerima tanpa syarat seseorang dan berjalan bersama untuk kehidupan yang lebih baik dalam pertumbuhan iman dan pengenalan akan Kristus. Tanpa, Kristus maka tidak akan ada persekutuan yang selalu menghadirkan Shalom. Kristus telah menebus kita dan menerima segala kekurangan kita. Kiranya Tuhan menolong kita.
Asidoro Sabar Parsaulian Pasaribu
4 November 2021