Ayub 38:1-38

Maka dari dalam badai TUHAN menjawab Ayub (Ayub 38:1)

Tak ada satu mahluk ciptaan yang dapat bertahan di pusaran badai. Sejarah badai di muka bumi yang pernah terjadi antara lain: badai siklon tropis tahun 1970 di Bangladedsh, menelan korban jiwa 500.000 orang. Topan Nina di China, 1975, menghantam tewas sampai 299.000 jiwa. Badai Mitzh , Karibia, tahun 1988 menelan korban 19.000. Badai Great Galveston , tahun 1900 menelan korban 12.000 jiwa. Badai Katrina pada 2005 menelan kerugian 108 milliar dolar AS dengan korban 1.833 jiwa. Badai ini menyapu 200.000 km persegi. Badai lebih dahsyat dari wabah virus corona (2021). Di Italia mencapai 10.000 jiwa tewas. Positif covid19 per 29 Maret 2021 di titik 94.472.

Ayub mengalami kematian anak2nya karena angin ribut (Ibrani “gadol” = besar), dari padang belantara datang merobohkan rumah dan menimpa kesepuluh anaknya (1:18,19).

Tuhan berbicara kepada Ayub dari dalam badai. Wao! Betapa dahsyat Tuhan, berada di dalam pusaran badai. Ia mengajar Ayub dari dalam badai. Luar biasa Tuhan. Oh My God…

Apakah ayat satu ini pengandaian hiperbola? atau sekedar efek sedap sastra untuk menyatakan “keangkeran” Mahadahsyat Tuhan. Secara sastra, ya. Namun tata bahasa Ibrani menyatakan berbicara dari dalam badai adalah suatu fakta, data sejarah sebab ditunjukkan pada kata badai itu melekat partikel tertentu “ha” yang berfungsi untuk menyatakan fakta sesungguhnya bahwa terjadi suatu badai tertentu di suatu waktu dan tempat, dimana Tuhan bersuara dari dalam badai itu untuk memberitahukan Kemahaagungan Tuhan kepada Ayub. TUHAN lebih dahsyat dari badai.

Mengapa Tuhan berbicara dari dalam badai? TUHAN memperlihatkan MAHAKUASA-NYA. Secara manusia penderitaan yang ditimpakan pada Ayub sangatlah berat (maha). Tuhan menunjukkan diriNya kepada Ayub dari dalam badai agar Ayub paham bahwa badai dapat dikuasaiNya, jadi badai penderitaan Ayub mahakecil sebab Tuhan yang hadir bersama Ayub mengarungi badai penderitaannya.

Ayub meminta alasan penderitaannya padahal ia tidak berdosa, saleh dan benar. Bahkan teman2nya mencari2 salah Ayub, mencerca dan menuduh bahwa ia menderita karena kejahatan yang ia lakukan. Ada rasa sesak dan gentar di dadanya sehingga ia mempertanyakan keadilan Tuhan. Maka Tuhan mengajarnya (berbicara) dari dalam badai.

Tuhan membesarkan hati Ayub dengan cara memperlihatkan karya2Nya yang ajaib. Tuhan berbicara dengan gaya retorika dan berdialog.

Tuhan menyampaikan penjelasan penciptaan yang tak dapat dimengerti pikiran Ayub.

Ayub diam seribu bahasa dan tak mengerti ketika Tuhan membuat bumi dengan ukuran yang tepat dan membangunnya dengan batu penjuru (ay 4-6). Ukuran bumi dan dasar lautan, batas langit, batas awan yang tak dapat dijangkau oleh Ayub. Ia menjadi dungu dihadapan KebesaranNya.

Ayub diminta memperhatikan benda2 ciptaanNya untuk menghentikan kecongkakan manusia. Retorika teologia penciptaan direpeitisi dalam ayat 7-11: Tuhan membuat bintang-bintang fajar bersorak-sorak (ay 7a), Malaikat2Nya bersorak atas karya penciptaan (ay 7b), Tuhan yang membendung laut (ay 8), Tuhan yang membuat awan (ay 9), Tuhan yang menetapkan batas laut dan awan (ay 10).

Ayub semakin percaya dan mengerti bahwa Tuhan menciptakan hari dan jafar (ay 12), tanah liat (ay 14), terang (ay 15), lautan atau samudera raya (ay 16), gerbang maut (neraka) (ay 17), gelap (ay 19), salju (ay 22), hujan batu (ay 22), angin Timur (ay 24), hujan deras dan kilat guntur (ay 25), padang tandus (ay 26), padang gurun dan hutan, serta rumput muda (ay 27), titik embun (ay 28), air beku dan embun beku di langit (ay 29), air batu lautan batu (ay 30), bintang Kartika, bintang Belantik, Mintakulburuj bintang Biduk (ay 31-33), kilat (ay 35), awan (ayat 37), debu membeku menjadi logam (ay 38). *semua benda2 ini diciptakan ada maksud bagian masing-masing yang ditetapkan oleh Tuhan untuk kebaikan dan demi kemuliaanNya.

Pengetahuan geologi, penjadian bumi tak dapat dipahami dan dimengerti oleh Ayub. Gelora kecongkakan, keangkuhan Ayub berhenti seketika (ay 11). Sebagaimana murid2Nya terdiam dungu di hadapan Tuhan Yesus ketika dihentikanNya badai laut Galilea.

Ayub tertunduk di hadapan kebesaran Tuhan yang tenang berbicara dari dalam badai. Ayub memperoleh kekuatan baru untuk menghadapi badai penderitaanNya.

Ya, Tuhan penguasa badai kehidupan, kita tidak takut melanjutkan hidup ini walau seribu wabah menerpa. Sebab Tuhan Penguasa segala sesuatunya. DIA juga yang menguasai hidup kita.

Salam Merayakan Penguasa, Tuhan Yesus Raja Alam Semesta.

Ev. Tonny Mulia Hutabarat
20 September 2021